Oleh : Zainal Arifin[1]
A. PENDAHULUAN
Alam takambang jadi guru adalah salah satu filosofi kehidupan yang sangat terkenal di masyarakat Minangkabau. Filosofi ini sering dianggap sebagai pijakan dasar bagi masyarakatnya dalam mengembangkan diri baik dalam kekinian maupun di masa yang akan datang. Taufik Abdullah (1966) mengartikan alam dalam konteks masyarakat Minangkabau ini, tidak hanya sekedar lingkungan biotis, tetapi juga dipandangnya sebagai lingkusan sosial-budaya dan lingkungan pemimiran (ideasional). Dengan kata lain, alam lebih dipandangnya sebagai ranah (dunia) tempat dimana pergulatan kehidupan dan pemikiran masyarakatnya ditemukan dan disarikan. Adaik nan ampeksebagai landasan aturan utama dalam kehidupan bermasyarakatnya, adalah salah satu cerminan bagaimana masyarakatnya menyadur sifat alam nan takambang tersebut sebagai landasan aturan dalam adaik tersebut. Begitu juga dalam aplikasinya, dimana “perubahan” dalam masyarakatnya dianggap legal (sakali aia gadang sakali tapian barubah), juga adalah cerminan bagaimana masyarakat Minangkabau begitu kuat belajar dengan alamnya.
Bahkan Umar Yunus (1964) mensinyalir bahwa sebahagian besar nama-nama suku dan kaum di masyarakat Minangkabau terinspirasi dari alam. Tulisan ini juga terinspirasi dari begitu kuatnya ajaran alam nan takambang pada masyarakat Minangkabau tersebut, sebagai pijakan dasar yang memotivasi saya untuk lebih menggali lebih dalam adat yang dikembangkan dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau tersebut. Lebih jauh lagi, motivasi ini diharapkan bisa memancing para akademisi untuk dapat menjadikan masyarakat Minangkabau — yang telah begitu banyak dijadikan sebagai lahan kajian — sebagai pijakan untuk menggali lebih jauh dasar-dasar keilmuan baru. Keilmuan yang saya maksudkan disini tidak saja sekedar upaya menjadikan Minangkabau sebagai lahan mengasah kajian-kajian terbaru, tetapi menurut saya sangat memungkinkan bisa menjadi lahan untuk melakukan modifikasi dan penemuan teori serta metodologi baru. Walaupun cita-cita ini terlalu ambisius — bahkan mungkin terlalu “kurang ajar” untuk orang seukuran saya — namun bukan berarti hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Walaupun ini mungkin masih terlalu dini untuk disampaikan, namun sebagaimana yang saya tuliskan dalam judul diatas, bahwa ini hanyalah sebuah wacana dari saya yang mudah-mudahan bisa menjadi bahan diskusi lebih jauh lagi bagi para akademisi (dan ilmuwan) lain yang menjadikan Minangkabau sebagai salah satu lahan kajian mereka. Oleh sebab itu sekali lagi saya mohon maaf atas kelancangan tulisan saya ini, namun bukan berarti saya tidak memiliki dasar untuk mengutarakannya. Dari beberapa fenomena yang terlihat di masyarakat Minangkabau sendiri, dan dari segelintir literatur yang baru sempat saya baca, sedikit banyak telah menggelitik saya untuk mengeluarkan apa yang terpikir oleh saya di saat ini tentang hal tersebut. Salah satu potensi yang menurut saya cukup kuat untuk menjadikan Minangkabau sebagai landasan penemuan cara pandang dan metodologi baru di ranah ilmu sosial dan budaya adalah dasar masyarakatnya yang dualisme (Saanin, 1989), “aturannya yang dipakai berubah-ubah” (Benda-Backmann, 2001), “aturan yang dipakai tidak jelas” (Biezeveld, 2001), “sulit diterka” (Abdurrahman Wahin, 1996), “ambigu” (Sjafri Sairin, 2002), “secara politik ada persaingan antar kelompok” (Maarif, 1996, Azwar, 2001), dispute (Tanner, 1971), dual organization (Levi-Strauss, 1963), “organisasi sosial yang mendua” (Josselin de Jong, 1960). Permasalahannya, sebutan diatas cenderung dikonotasikan negatif[2], sehingga sering menjadi kendala ketika diangkat kepermukaan sebagai bahan diskusi lebih lanjut. Saya cenderung melihat fenomena-fenomena tersebut (dualisme, ambigu, dispute), justru sebagai sesuatu yang potensi untuk digali lebih lanjut. Asumsi dasarnya, apabila memang masyarakat Minangkabau ditunjukkan demikian (dualisme), maka pertanyaannya lalu mengapa justru hal tersebut tidak menimbulkan kondisi-kondisi yang disharmoni. Dalam beberapa literatur, ditunjukkan misalnya bagaimana masyarakat Minangkabau justru memiliki kemampuan dalam mensintesiskan adanya dualisme tersebut. Bahkan Nasroen (1957) secara tegas mengatakan kondisi masyarakat Minangkabau ini sebagai kondisi “kesatuan dalam keragaman”. Josselin de Jong (1960) menyebutnya sebagai “permusuhan dalam persahabatan” (hostile in friendship), sedangkan Saanin (1989) menyebutnya sebagai “dualisme menuju keesaan”. Dari beberapa literatur yang baru sempat saya baca, berbagai topik dengan berbagai teori dan cara pandang yang dilakukan oleh para peneliti — luar maupun dari ilmuwan Minangkabau sendiri — terungkap begitu kaya dan menariknya Minangkabau sebagai lahan kajian. Namun sampai sekarang — sepengetahuan saya — kajian tersebut belum sempat melahirkan sebuah cara pandang, teori dan metodologi baru. Mudah-mudahan hal ini bukan karena Minangkabau tidak menarik untuk menjadi landasan penemuan-penemuan dasar-dasar keilmuan baru, tetapi lebih disebabkan karena belum banyak para ilmuwan sekelas Clifford Geertz yang mampu menjadi Jawa sebagai dasar pengembangan teori hermeneutik-nya. Oleh sebab itu, saya tidak menganggap tulisan ini sebagai sebuah temuan atau pemikiran baru, tetapi lebih menempatkannya sebagai hasil perenungan sayasetelah beberapa tahun terakhir ini mencoba menggeluti beberapa tulisan tentang Minangkabau dan mengaitkannya dengan berbagai fenomena yang katanya “tidak jelas” tersebut. Mudah-mudahan justru tidak menambah kekusutan baru. B. BUDAYA MINANGKABAU SEBAGAI LAHAN KAJIAN Budaya Minangkabau sudah lama menimbulkan keingin tahuan banyak orang khususnya peneliti-peneliti dan pengamat di berbagai disiplin ilmu. Tetapi yang paling menarik perhatian justru dalam kajian dan aspek sosial-budaya dan politik. Informasi awal tentang budaya dan masyarakat Minangkabau ke masyarakat luar sebenarnya telah dilakukan oleh orang Minangkabau itu sendiri, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Bahkan apabila informasi tersebut merujuk ke bentuk lisan, diperkirakan telah lama dilakukan oleh orang Minangkabau melalui para peranrau-perantaunya. Joustra yang datang ke Minangkabau di awal abad 20 misalnya menerima informasi awal tentang sistem sosial masyarakat Minangkabau justru dari perantau Minangkabau yang menetap Malaysia (dikutip dari Joselin de Jong, 1960). Upaya untuk selalu menyebarkan informasi ini (secara lisan), dalam masyarakat Minangkabau adalah hal biasa yang ditandai dengan adanya tradisi ba-kaba(menceritakan tentang sebuah kisah), bahkan tambo akhirnya bisa dituliskan karena adanya kebiasaan mensosialisasikan sebuah kisah, sejarah asal usul, aturan dan legenda-legenda kebesaran nenek moyang melalui tradisi lisan ini. 1. Periode Awal Informasi awal tentang masyarakat Minangkabau dalam bentuk tulisan orang Barat dari perspektif “ilmiah”, baru dimulai sejak pertengahan abad 19 dan awal abad 20. Ini misalnya bisa dilihat dalam tulisan Pustorius (1869) yang mencoba menggambarkan situasi perang Padri yang terjadi di Minangkabau pada waktu itu. Gambaran seperti inilah yang kemudian ikut mempengaruhi C.Snouch Hurgronje (1906) ketika akan mengulas masyarakat Aceh. Tulisan-tulisan berbentuk etnografi baru mulai bermunculan dengan pesat sejak awal abad 20. Ini dimulai dengan munculnya tulisan Willinck (1909) yang menggambarkan tentang sistem pemerintahan nagari di Minangkabau, kemudian tulisan Ronkel (1916), Stap (1917), Westenenk (1918), Joustra (1920), Schrieke (1920), Leyds (1926), Guyt (1934), Schafer (1938), Korn (1941) yang kesemua tulisan-tulisan ini mulai terfokus pada gambaran etnografi umum tentang sistem sosial-budaya seperti masyarakat Minangkabau yang matrilineal, sistem organisasi sosial berbentuk kaum, suku, sistem kerapatan adat, dan sistem pemerintahan nagari. Namun yang menarik, pada priode sebelum kemerdekaan ini, tercatat sudah mulai muncul tulisan-tiulisan dari orang Minangkabau sendiri yang menggunakan bahasa melayu dengan menggunakan huruf latin (bukan arab Melayu). Beberapa tulisan ini bahkan diterbitkan sendiri melalui peneribit yang dikelola orang Minangkabu atau orang Belanda yang ada di Sumatera Barat (seperti di Bukittinggi dan Payakumbuh). Tulisan-tulisan ini memang masih terfokus pada upaya memperkenalkan aturan adat yang bekembang dan dikembangkan di masyarakat Minangkabau, dengan memaparkannya dalam bentuk tambo. Beberapa tulisan diantaranya ditulis oleh Datoe’ Sanggono Diradjo (1919) dengan judul “Kitab Tjoerai Paparan Adat Lembaga alam Minangkabau”, dan dari penulis yang sama tentang “Moestika Adat Alam Minangkabau” (1920). Bahkan sudah coba dibuat sebuah kamus bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu Riau yang ditulis oleh M Thaib Sutan Pamuncak (1935). 2. Priode Tahun 1950-an Periode tahun 1950-an, ditandai dengan mulai gencarnya para peneliti dari Belanda yang dimotori para peneliti dari Leiden Universitat untuk menggali lebih jauh tentang adat istiadat yang berkembang di Indonesia. Minangkabau (Indonesia bagian Barat umumnya) sebagai salah satu daerah kajian banyak dimotori oleh P.E. Josselin de Jong, sementara di daerah Indonesia Barat dimotori oleh F.A.E. van Wouden. Karya-karya awal sebelum kemerdekaan tentang Minangkabau oleh peneliti-peneliti Belanda, sangat besar sekali mempengaruhi para peneliti berikutnya (aliran Leiden Belanda) untuk menggali lebih dalam tentang masyarakat di Indonesia. Hal ini kemudian melahirkan karya besar P.E. de Josselin de Jong (1960) tentang sistem sosial-budaya masyarakat Minangkabau dan Negeri Sembilan. Karya-karya ilmiah para peneliti di tahun 1950-an ini kemudian sering menjadi gambaran dan acuan awal bagi banyak peneliti untuk memahami Minangkabau lebih jauh. Bahkan khusus untuk karya Josselin de Jong, kemudian lebih dianggap sebagai “masterplane” oleh banyak peneliti ketika ingin mengkaji masyarakat Minangkabau. Para penulis Barat ini lebih banyak tertarik untuk menggambarkan tentang sistem sosial-budaya secara umum tentang masyarakat Minangkabau, atau lebih untuk melengkapi secara lebih dalam tentang gambaran yang sudah dilakukan sebelumnya. Oleh sebab itu, gambaran tentang sistem adat atau tradisi-tradisi berkaitan dengan kehidupan sehari-hari akhirnya lebih banyak menjadi tema umum dalam etnografi mereka. Pada tahun-tahun 50-an ini juga, beberapa penulis Minangkabau juga mulai bermunculan, yang sebelumnya juga sudah mulai banyak bermunculan dengan karya-karya sastranya. Adapun tema sentral dalam karya penulis-penulis dari Minangkabau ini lebih pada sistem adat dan kaitannya dengan sistem agama (Islam). Pertarungan antara kelompok Islam dan kelompok adat mulai terlihat kembali dalam berbagai ulasan penulis Minangkabau ini, yang menurut Taufik Abdullah (1966) lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik Indonesia pada waktu itu. Oleh sebab itu, maka penulis-penulis dengan gelar adat yang lengkap mulai banyak memunculkan tulisan tentang sistem adat yang “seharusnya” berlaku, menulis ulang tambo yang mereka ketahui, disamping sistem matrilineal itu sendiri. Beberapa penulis dari latar adat di tahun-tahun 1950-an ini, misalnya Datuak Batuah Sango & Datuk Majoindo (1954); Datuk Maruhum Batuah & D.H. Bagindo Tanameh (1954) yang keduanya mencoba menuliskan kembali tentang Tambo alam Minangkabau. Sementara kelompok lain yang lebih lebih “moderat” dan mencoba mengulas posisi Islam dalam tatanan sistem adat Minangkabau juga banyak bermunculan. Beberapa diantaranya misalnya karya M. Radjab (1954), Darwis Datuak M. Lelo & Marzuki (1954) yang kebetulan keduanya mencoba mengulas Perang Padri dan posisi Islam (Tuanku Imam Bonjol) dalam masyarakat Minangkabau. Kemudian tulisan lainnya seperti tulisan-tulisan Hamka (1946; 1951) tentang posisi Adat Minangkabau dalam tatanan negara; Nasroen (1957) tentang Dasar Falsafah adat Minang; dan Hazairin (1956) tentang Penyesuaian hukum islam dan hukum adat. 3. Periode Tahun 1960-an Barulah pada tahun-tahun 1960-an dan 1970-an, karya-karya penelitian yang beragam tema dan beragam universitas mulai semakin gencar mengulas tentang masyarakat Minangkabau. Pada tahun 1960-an ini, kelompok yang paling gencar melakukan dan mengkaji Minangkabau adalah dari kelompok Cornel University, yang pada awalnya telah didahului oleh Anthony H. John (1958) yang mengulas sebuah kaba yaitu Kaba Rantjak Dilabuah. Setelah John menganalisis sistem sosial-budaya masyarakat Minangkabau yang secara implisit tercermin dalam Kaba Rantjak Dilabuah, maka karya-karya penulis Cornell berikutnyan bermunculan. Dua penulis Minangkabau yang kebetulan sekolah di Cornell University yaitu Zahara Daulay (1960) dan Taufik Abdullah (1966), mencoba menggambarkan Minangkabau dalam kacamata pemilik budayanya. Kalau Zauhara Daulay mencoba menjelaskan sistem sosial budaya Minangkabau secara umum, maka Taufik Abdullah mulai mencoba mengkhusus pada persekutuan Adat dan Islam, yang kemudian dilanjutkan dengan disertasinya tentang Gerakan Kaum Muda. Peneliti Minangkabau lainnya yang juga gencar menginformasikan tentang sistem sosial-budaya Minangkabau melalui tulisan-tulisannya diantaranya Delian Noer (1963), Umar Junus (1964), Harsja Bachtiar (1967) dan Mochtar Naim (1968). Sementara di Padang sendiri melalui Fakultas Ilmu Kemasyarakatan (sekarang Fakultas Hukum) juga mulai gencar menggali budaya Minangkabau khususnya dalam perspektif hukum yang dimotori oleh Herman Sihombing (seperti 1968). Sementara para penulis Barat misalnya muncul nama J.V. Maretin (1961) yang mempertanyakan tentang keberlanjutan sistem matrineal di Minangkabau (dissappearance of matriclan survivals in Minangkabau family), Fischer (1964) yang mencoba menjelaskan dan menggali kembali struktur kekerabatan Minangkabau (The minangkabau kinship structure), serta tulisan Nancy Tanner (1969) yang kebetulan juga dari Cornell University, yang mengulas tentang pola perselisihan di Minangkabau dan proses penyelesaiannya (Minangkabau disputes). Beberapa penulis (khususnya peneliti dari Barat) yang mulai gencar menginformasikan akan sifat “ambiguitas” kehidupan masyarakat Minangkabau ini, disatu sisi juga menggelitik beberapa penulis lain (khususnya penulis-penulis Minangkabau sendiri) untuk kembali menjelaskan tata aturan, adat dan sistem matrilineal, serta pola hubungan Adat dan islam di masyarakat Minangkabau ini. Dalam konteks ini berbagai penulis (khususnya penulis dari Minangkabau) mencoba membuktikan bahwa fenomena yang berkembang di masyarakat Minangkabau pada prinsipnya adalah fenomena yang muncul sebagai konsekuensi dinamis yang dimiliki masyarakatnya, jadi bukanlah sesuatu yang saling bertentangan. Pola hubungan antara Adat dan Islam yang oleh banyak peneliti dilihat sebagai suatu hubungan yang “aneh” karena disatu sisi mengandung prinsip matrilineal (adat) dan disisi lain mengandung prinsip patrilineal (Islam), menurut para penulis dari Minangkabau ini bukanlah sebuah fenoemna bertentangan tetapi lebih sebagai fenomena saling berdampingan. Artinya, kehadiran Islam dalam kehidupan adat di masyarakat Minangkabau sebenarnya “melengkapi” dan “menyempurnakan” Adat itu sendiri (Nasroen, 1957; Taufik Abdullah, 1966; Hamka, 1958). Posisi dan pola hubungan antara Adat dan islam yang sebenarnya sudah pernah coba dijelaskan oleh penulis-penulis dari Minangkabau coba dikupas kembali oleh beberapa penulis Minangkabau. Beberapa diantaranya masih berkutat dengan informasi tentang aturan adat dan tambo, seperti dapat ditemukan dalam tulisan Datuk Sidi Bandaro (1965) yang mengupas tentang Seluk beluk adat minangkabau; Bahar Datuk Nagari Basa (1966) yang menjelaskan tentang Falsafah Pakaian Penghulu dan Silsilah adat dalam Tambo alam Minang; Mansur Datuk Nagari Basa (1968) mengupas Hukum Waris dan Tanah da peradilan agama; Datuk Rajo Penghulu (1978) menjelaskan tentang Pokok-pokok pengetahuan adat alam minangkabau; Datuk Rajo Penghulu (1978) tentang Pegangan penghulu, bundo kanduang dan pidato adat; atau Chairul Anwar (1967) tentang Hukum Adat di Indonesia: Meninjau Minangkabau. Namun beberapa penulis lainnya yang kebetulan juga banyak berasal dari Minangkabau juga mencoba menjelaskan tentang seluk-beluk dan sejarah masyarakat Minangkabau itu sendiri. Tulisan seperti ini misalnya bisa dilihat dalam tulisan Hamka (1963) yang mencoa menjelaskan tentang keberadaan peranan adat minang dalam menghadapi revolusi; Kemal (1964) tentang sekitar sistem pemerintahan nagari dan perkembangannya; M Radjab (1969) tentang Sistem kekerabatan di minangkabau; M.D. Mansoer (1970) tentang Sejarah Minangkabau; Rasid Manggis Datuk Rajo Panghulu (1971) tentang sejarah ringkas Minangkabau dan adatnya; Nazaruddin (1971) tentang Masalah Hibah dalam hukum adat minangkabau; Nuzhadi (1971) tentang latar belakang sejarah terujudnya adat basandi syarak di minang; Amilijoes Sa’sanoer (1973) tentang Peradilan adat di sumatera barat; serta Mohammad Hasbi (1971) tentang Perkembangan dan peran LKAM dalam masyarakat dan pemerintahan. Termasuk didalam ini juga tulisan Lynn L. Thomas (1977) yang menggali lebih jauh tentang sistem kekerabatan yang berkembang dalam sistem matrilineal Minangkabau pedesaan. 4. Periode Tahun 1970-an sampai sekarang Pada tahun 1970-an , pembicaraan tentang “pertentangan” dalam berbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau kelihatannya mulai ditinggalkan. Banyak peneliti mulai lebih tertarik tentang berbagai isu yang selama ini tidak pernah dikupas dan dibicarakan oleh para peneliti dari Minangkabau termasuk peneliti dari Barat sendiri. Isu-isu tentang tentang perubahan sosial-ekonomi dan pola migrasi di masyarakat Minangkabau terlihat mulai menonjol. Tulisan Christine Dobbin (1974) misalnya mencoba mengupas tentang gerakan kaum padri (Islam) tidak saja disebabkan sebagai upaya memurnikan ajaran Islam di Minangkabau, tetapi sebenarnya juga bermotif sebagai pemberontakan akibat tekanan ekonomi terhadap masyarakat Minangkabau secara umum yang cenderung tidak disetujui oleh kelompok islam ini. Kupasan tentang perubahan sosial yang lebih dilihat dalam konteks ekonomi seperti ini juga muncul dalam tulisan Joel S. Kahn (1974) yang mengupas tentang posisi ekonomi pedesaan dalam konteks global yang ditandai dengan proses migrasi masyarakatnya (migrasi sebagai gerakan ekonomi). Tulisan yang juga mengarah pada perubahan sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan ini juga terlihat dalam tulisan Akira Oki (1977) yang mengargumentasikan bahwa proses perubahan sosial di masyarakat Minangkabau lebih sebagai proses yang dikondisikan dan diintervensi oleh Belanda untuk kepentingan pemerintahan penjajah (akibat krisis ekonomi akhir tahun 1929), dan tekanan penjajah inilah yang menurut Akira Oki sebagai salah faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam tatanan masyarakat, termasuk dalam tatanan pemerintahan nagari, yang sebenarnya sangat otonom. Kajian-kajian lainnya yang cukup menonjol adalah kajian tentang migrasi (merantau) sebagai salah satu fenomena sosial yang dianggap sudah berkembang sejak lama dalam masyarakat Minangkabau. Tulisan Mochtar Naim (1974) dan tulisan Tsuyoshi Kato (1978) adalah diantaranya yang cukup menonjol dalam pembicaraan tentang proses migrasi ini. Kedua penulis ini sama-sama berpijak dari asumsi bahwa tradisi merantau di Minangkabau memiliki saling kait-mengait dengan sistem matrilineal masyarakatnya, namun dalam melihat pola kaitannya tersebut, kedua penulis ini cenderung agak berbeda. Dalam pandangan Mochtar Naim, tradisi merantau lebih disebabkan oleh tekanan-tekanan adat yang dialami oleh laki-laki Minangkabau, yang dianggap tidak memiliki “kekuasaan” sehingga harus diraih dengan cara merantau. Sementara Tsuyohi Kato lebih melihat proses merantau sebagai sebuah proses yang cenderung akan semakin menguatkan keberadaan matrilineal Minangkabau itu sendiri. Dalam konteks ini, Kato mencoba menjawab asumsi-asumsi bahwa matrilineal Minangakabu akan mengalami perubahan seiring dengan proses merantau itu sendiri. Untuk itu disini menurut Kato membuktikan bahwa adat, tata aturan dan sosial yang berkambang dalam tradisi matrilineal Minangkabau justru disosialisasikan kembali oleh orang Minangkabau di daerah perantau. Sedikit agak berbeda dengan penulis lainnya, walau masih dalam konteks perubahan sosial dan merantau adalah tulisan Hans-Dieter Evers (1975) yang membicarakan tentang perubahan sosial di masyarakat Minangkabau perkotaan. Menurut Hans-Dieter Evers disini, bahwa ada kecenderungan kota (khususnya kota Padang) ada kecenderungan lebih sebagai batu pijakan untuk pergi merantau ke kota-kota besar lain di Sumatera atau di pulau Jawa. Artinya kota-kota di Sumatera Barat cenderung lebih sebagai daerah transit bagi banyak perantau Minangkabau untuk menuju daerah tujuan sebenarnya (kota-kota Besar di Indonesia). Kajian lain yang juga cukup menonjol adalah keinginan beberapa para ahli sejarah untuk mengungkap sejarah perjuangan masyarakat Minangkabau, serta kajian tentang hukum dengan segala perubahannya. Kajian tentang sejarah perjuangan dan pergolakan di masyarakat Minangkabau, misalnya dapat ditemukan dalam tulisan Elizabeth Graves (1971) yang mengupas tentang strategi perjuangan masyarakat Minangkabau yang diasumsikannya sama dengan dengan strategi perjuangan masa lalu dengan istilah “victorious buffalo”. Strategi ini adalah sebuah strategi yang lebih mengandalkan “co-operation” (kerjasama) daripada dengan mengandalkan kekuatan fisik dan senjata, dan menurut Elezabeth Graves strategi ini ternyata sangat berhasil dan bermanfaat bagi masyarakat Minangkabau dalam mengatasi berbagai masalah masa penjajahan Belanda. Kajian tentang sejarah masyarakat Minangkabau lainnya misalnya yang ditulis oleh Audry Kahin (1979) yang berjudul “Struggle for Independence in West Sumatera”. Kajian yang menarik yang juga mulai melihat pada aspek yang agak berbeda dengan penulis-penulis sebelumnya adalah kajian dari hukum, misalnya yang ditulis oleh Franz von Benda-Backmann (1979) yang membicarakan tentang tanah ulayat dan aspek sosialnya yang dilihat dari sisi pluralisme hukum dan perannya sebagai jaminan sosial bagi semua anggota kerabat dan masyarakat secara umum. Kajian hukum seperti ini juga kemudian dilakukan oleh istri beliau yaitu Keebet von Benda-Backmaan (2001) yang mencoba membahas sistem musyawarah yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau yang dianggapnya sangat adaptif dan mampu menyesuaikan dengan aturan hukum yang berkembang dan dikembangkan. Dari judul tulisannya “the broken stairway to concensus” sudah tersirat bahwa menurut Keebet von Benda-Backmann bahwa cara musyawarah adat yang berkembang di masyarakat Minangkabau sudah mulai “hancur” yang diasumsikannya sebagai akibat intervensi negara. Namun kesimpulan ini cenderung kontradiktif dengan penjelasannya sendiri yang melihatnya dari kacamata pluralisme hukum bahwa hancurnya cara musyawarah ini sebenarnya sudah mulai muncul ketika Islam berkembang dan menjadi bagian dalam masyarakat Minangkabau. Era selanjutnya yaitu periode tahun 1980-an dan 1990-an, kajian-kajian tentang gender terlihat mulai menonjol. Di akhir tahun 1970-an, tulisan tentang fenomena sosial-budaya masyarakat Minangkabau dalam persfektif gender (khususnya kajian tentang wanita) sebenarnya sudah muncul lewat tulisan Prindiville (1979) yang mencoba membahas “makanan dan dapur” yang dilihatnya sebagai simbol-simbol bagi komuniasi wanita dalam kehidupan di rumah tangga dan di masyarakat. Dengan kata lain menurut Prindiville, makanan dan aktifitas di dapur bisa menjadi sarana bagi wanita untuk menunjukkan dan menguatkan eksistensinya dalam masyarakat. Kajian lainnya yang juga masih masih terkait dengan wanita walau sedikit agak berbada adalah tulisan F.K. Errington (1984) yang mencoba membahasa tentang peran wanita dalam mensosialisasikan tata krama dan tata aturan dalam masyarakat Minangkabau. Dalam perkembangan juga muncul tulisan-tulisan lain seperti OP.R. Sanday (1990) yang berjudul “Androcentric and Matrifocal Gender in Minangkabau”, Carol Davis (1994) dengan judul “Gender Relation and Networks in Minangkabau Village”, Joke van Reenen (1996) “Central Pillars of The House, Sistem, Wife and Mother”. C. MEMBACA ULANG MINANGKABAU : ANTARA KAJIAN KULTURAL DAN STRUKTURAL Berangkat dari gambaran beberapa literatur tentang Minangkabau yang ada diatas, kita bisa melihat bahwa ada kecenderungan peneliti-peneliti yang tertarik dalam kajian mengkaji tentang Minangkabau lebih dikarena beberapa hal diantara; (1) karena keunikan masyarakatnya yang dilandasi oleh sistem matrilineal, sehingga dianggap sangat berbeda dengan latar belakang banyak peneliti (yang cenderung patrilineal, mungkin), (2) Kuatnya ajaran Islam yang melekat dalam masyarakat Minangkabau, yang justru oleh banyak peneliti dianggap “mengejutkan” karena Islam yang cendrung ptrilineal bisa begitu kuat disadur dan dipakai oleh masyarakatnya yang juga sangat kuat nilai matrilinealnya. (3) Berangkat dari aspek Adat (maytrilineal) atau dari aspek Islam (patrilineal) inilah kemudian melahirkan banyak kajian untuk lebih menjelaskan dan justru mempertanyakan tentang asumsi bahwa berbagai fenomena di Minangkabau cenderung menunjukkan pola hubungan yang bertentangan atau meminjam istilah Tanner cenderung menunjukkan fenomena “dispute”. Namun ada kecendrungan, para peneliti di akhir tahun 1990-an atau di awal-awal tahun 2000-an ini kembali dibigungkan dengan fenomena-fenomena yang dispute tersebut. Hal ini misalnya terlihat dari beberapa kajian dan pemikiran yang cenderung mencoba “merekonstruksi” atau “merevitalisasi” budaya Minangkabau, atau dengan kata lain mencoba “menyusun” kembali budaya Minangkabau tersebut setelah mengalami berbagai “perubahan” dan “pembongkaran” disana-sini akibat perkembangan dunia yang juga ikut nendera dunia Minangkabau. Masalahnya aspek-aspek apa yang akan direkontruksi dan direvitalisasi, bukanlah masyarakat Minangkabau justru menghendaki hal tersebut terjadi (sakali aia gadang sakali tapian barubah). Pada periode-periode awal penelitian di Minangkabau (1950-an) yang kebanyakan berasal dari Belanda, sudah coba dijelaskan bagaimana gambaran budaya Minangkabau melalui kajian-kajian tentang adat dan tradisi yang berkembang. Namun justru peneliti seperti Keebet von Benda-Backmann sendiri (2001) dan juga muridnya seperti Renske Biezeveld (2001) yang juga berasal dari Belanda, justru kembali mempertanyakan mengapa aturan-aturan yang berkembang di masyarakat Minangkabau justru cenderung menunjukkan sifat “tidak teratur”, “tidak memiliki acuan yang jelas” atau dengan kata lain “dispute”. Saya mengasumsikan, kajian-kajian terbaru tentang Minangkabau banyak bergerak dari kaca mata kultural yang menempatkan fenomena budaya di Minangkabau sebagai bagian dari proses perubahan sosial. Para peneliti ini sebenarnya menyadari bahwa dalam nilai-nilai budaya Minangkabau aspek perubahan dianggap sebagai hal yang biasa, berangkat dari pepatah adatnya yang mengatakan “sakali air agadang, sakali tapiah barubah” (sekali banjir datang, maka tempat pemandian juga akan berubah). Namun ketika melihat berbagai fenomena yang berkembang menunjukkan arah yang “aneh secara teori” atau “sulit untuk dibaca” dalam kacamata teori perubahan sosial atau dari kacamata teori kontinuitas-diskontinuitas, para peneliti ini menjadi “kelabakan”. Inilah yang menurut saya yang menyebabkan munculnya aktifitas para peneliti-peneliti tentang Minangkabau untuk “merekonstruksi” atau “merevitalisasi” budaya Minangkabau tersebut. Terpakunya cara pandang peneliti yang cenderung selalu melihat berbagai fenomena melalui kacamata kultural seperti ini, sebenarnya belum cukup untuk menjelaskan fenomena Minangkabau yang melegalkan perubahan tersebut. Oleh sebab itu mungkin perlu melihatnya dengan cara pandang lain, yaitu cara pandang struktural[3]. Ini diasumsikan karena berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat Minangkabau sebenarnya telah terstruktur, sehingga pergerakan-pergerakan berbagai fenomena yang dianggap “tidak beraturan” tersebut sebenarnya hanyalah gerakan-gerakan “transformasi” belaka, atau dalam pepatah Minangkabau, hanya “batuka baruak jo cigak” (berubah beruk jadi kera). Artinya berbagai fenomana yang berkembang di masyarakat Minangkabau pada intinya hanya berubah di level empirik belaka (bertukar kulit), tetapi sebenarnya di level yang lebih abstrak yaitu level pemikiran — atau meminjam istilah Levi-Strauss dengan istilah “savage though” — sebenarnya bersifat tetap. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka menurut saya, pandangan tentang dispute berkenaan dengan berbagai fenomena di masyarakat Minangkabau lebih disebabkan karena struktur masyarakatnya memiliki struktur yang dispute atau dengan kata lain, struktur masyarakat Minangkabau sebenarnya adalah “struktur dualisme” atau memiliki “struktur ambiguitas”[4], tetapi masalahnya — sekali lagi — konsep dualisme atau ambiguitas ini sering dipandang oleh sebagai konsep yang cenderung “negatif”. Dualisme yang dimaksudkan dalam tulisan ini lebih sebagai sebuah kondisi dimana dalam sebuah masyarakat ditemukan adanya dua aspek yang cenderung berbeda bahkan saling bertentangan, namun berada dalam sebuah arena yang sama. Nasroen (1950), melihatnya melalui perandaian seperti sebuah gulai, dimana bahan bakunya terdiri dari berbagai sumber, berbagai rasa dan berbagai bentuk. Namun sebagai sebuah kesatuan (gulai) maka dia bercampur menjadi satu dan saling mendukung satu sama lain, bahkan terkadang tidak diketahui lagi ujud dari bahan-bahan tersebut. Dualisme masyarakat Minangkabau seperti beberapa diantaranya dicontohkan oleh Saanin (1960) seperti adanya dua lareh (Koto Piliang dan Bodi Caniago), dua pola politik (manitiak dari ateh – mambusek dari bumi), dua pola pengasuhan (anak dipangku – kamanakan dibimbing), posisi yang mendua bagi seorang suami (abu diateh tungku – manatiang minyak panuah), dan lain-lain. Ulasan bahwa masyarakat Minangkabau memiliki struktur yang dualisme seperti ini sebenarnya sudah pernah disinggung oleh Josselin de Jong (1960); Tanner, 1969; Dobbin, 1977, termasuk beberapa penulis Minangkabau sendiri (lihat misalnya Abdullah, 1966; Saanin, 1989; Maarif, 1996). Secara struktural, sebenarnya sifat dualisme dalam masyarakat Minangkabau ini sudah diindikasikan oleh berbagai penulis yang berbasis perspektif strukturalisme. Needham (1980) misalnya mengatakan bahwa dalam masyarakat yang menjalankan prinsip matrilineal sebagai landasan kehidupan sosialnya, maka sifat dualisme (dual organization) seperti ini akan selalu ditemui. Oleh kaum strukturalisme seperti Needham, hal ini diasumsikan sebagai akibat pentingnya posisi wanita dalam pertukaran sosial, khususnya dalam hubungan perkawinan. Bahkan Ekeh (1974) secara lebih luas menggambarkan hal ini sebagai akibat pertukaran sosial (social exchange) dalam berbagai aktifitas dalam kehidupan sosialnya. Oleh sebab itu, saya setuju dengan apa yang pernah dilontarkan oleh Mestika Zed (1992; 2004) yang melihat bahwa cara pandang kultural yang dipakai selama ini ternyata belum cukup untuk menjelaskan fenomena-fenomena di masyarakat Minangkabau, untuk itu mungkin perlu melihat fenomena-fenomena ini dengan menggunakan cara pandang lain seperti cara pandang struktural. Akan tetapi cara pandang struktural ini bukanlah sebagai satu-satunya cara pandang dalam membaca fenomena-fenomena tersebut, tetapi beberapa alasan yang belandasi penggunaan cara pandang ini antara lain : (1) Salah satu konsep penting dalam strukturalisme adalah “oposisi binari”, dan aplikasi konsep ini menurut saya cukup terlihat dalam berbagai pengklasifikasian fenomena di Minangkabau baik dalam bentuk struktur diametrik, konsentrik maupun triadik (konsep yang dikutip dari Levi-Strauss, 1963). (2) Ada kecenderungan fenomena-fenomena yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, apabila dipandang dari kacamata “perubahan sosial” tidak merubah secara frontal nilai-nilai dasar (nilai-nilai adat) yang berkembang dan dikembang dalam masyarakatnya. Masyarakat Minangkabau mengenal ada dua jenis adat yaitu adat yang babuhua mati dan adat yang babuhua sentak (adat yang terikat mati sehingga sulit untuk dilepas, serta adat yang ikatannya mudah dilepas). Perubahan sosial di Minangkabau, menurut saya cenderung masih terjadi dalam tataran adat babuhua sentak dan tidak pada tataran adat babuhua mati. Ini terbaca dari gambaran masyarakatnya, dimana sebesar apapun perubahan sosial yang terjadi, tetapi nilai-nilai adat cenderung tetap kuat bertahan. Kalau kita setuju untuk mengatakan bahwa masyarakat Minangkabau memiliki struktur dualisme, maka kita bisa membayangkan begitu besarnya potensi konflik internal yang bisa terjadi didalam masyarakat Minangkabau ini. Besarnya potensi konflik ini membuat Taufik Abdullah (1966) menyebut kondisi masyarakat Minangkabau ini sebagai “medan pertempuran” (the battle field) yang setiap saat bisa meletus dan menjadi arena perang yang sebenarnya. Namun dalam kenyataannya, kondisi dualisme ini justru tidak membuat masyarakat Minangkabau menjadi disharmoni atau menjadikan masyarakatnya selalu mengalami konflik berkepanjangan. Dengan kata lain, walaupun masyarakatnya terkondisi dalam situasi dualisme yang bisa saja menciptakan kondisi disharmoni, namun dibalik kondisi tersebut juga terselip adalah nilai-nilai yang mampu menciptakan keharmonisan. Artinya, di dalam masyarakat Minangkabau itu sendiri, sebenarnya ada nilai-nilai yang mampu mensintesiskan akan adanya dualisme tersebut, sehingga wajar kalau Josselin de Jong (1960) menyebut kondisi masyarakat Minangkabau ini sebagai kondisi masyarakat yang “walaupun bermusuhan namun tetap dalam persahabatan” (hostile in frienship). Sementara Nasroen (1950) lebih suka menyebut kondisi ini dengan istilah “kesatuan dalam keragaman” dan Saanin (1960) menyebutnya dengan istilah “dari dualisme menuju keesaan”. Dalam kajian strukturalisme, maka kodisi masyarakat Minangkabau seperti ini dapat disebut sebagai bentuk masyarakat dengan struktur triadik (levi-Strauss, 1966), yaitu sebuah kondisi dimana masyarakatnya terbelah menjadi 3 kelompok bagian. Dalam pandangan kaum strukturalisme, struktur triadik ini akan terdiri dari dua komponen yang selalu beroposisi (binary opposition) dan satu komponen lainnya adalah posisi antara. Kalau dua komponen yang beroposisi ini sifatnya riil, maka posisi antara terkadang keberadaannya bersifat tersembunyi (hidden reality). Salah satu gambaran tentang struktur Minangkabau yang memiliki ciri struktur triadik ini, sangat jelas terlihat misalnya dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat Minangkabau. Struktur tridik ini misalnya tergambar dalam sistem lareh dimana dua komponen, yaitu lareh Koto Piliang dan lareh Bodi Caniago cenderung memiliki ciri yang berbeda (beroposisi). Namun dibalik dualisme sistem lareh tersebut juga terselip sebuah lareh yang keberadaannya cenderung tersembunyi, yaitu lareh Nan Panjang, dimana keberadaannya dianggap “Koto Piliang indak, Bodi Caniago antah”. Mengikuti tambo yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, maka lareh Nan Panjang adalah sebutan bagi kelompok masyarakat (kaum dan suku) yang dibangun oleh Sri Maharajo Dirajo sebelumnya di daerah Pariangan dan Padang Panjang, atau jauh sebelum Datuk Katamanggungan dan Datuk Prapatiah Nan Sabatang menyusun dan mengembangkan sistem lareh Koto Piliang dan Bodi Caniago itu sendiri. Namun penamaan dan pengelompokan daerah Pariangan dan Padang Panjang sebagai pemilik dan pengguna sistem lareh Nan Panjang, barulah diberikan setelah sistem larehtersebut dipertegas oleh duo datuak tersebut. Artinya jauh sebelum sistem lareh Koto Piliang dan Bodi Caniago dipertegas, sebenarnya telah ada sistem sebelumnya yang dibangun dan diberlakukan oleh Sri Maharajo Diarajo (orang tua duo datuak ini) bersama dengan para pengikut-pengikutnya. Namun setelah munculnya dua larehlareh Nan Panjang, lebih memposisikan diri sebagai kelompok penetralisir dari dua lareh yang ada tersebut. yang satu sama lain relatif berbeda, maka keberadaan Dari hasil penelitian, menunjukkan bahwa struktur triadik sistem lareh ini, secara struktural ternyata bertransformasi dalam berbagai aktifitas kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam aktifitas perkawinan yang berkembang dan dikembangkan dalam masyarakat Minangkabau, baik di nagari yang menggunakan adat salingka nagari Koto Piliang maupun di nagari yang menggunakan adat salingka nagari Bodi Caniago. Dalam sistem perkawinan, keberadaan kelompok penetralisir yang ditunjukkan oleh lareh Nan Panjang ini, tidak saja ditunjukkan melalui posisi-posisi aktor tertentu dalam setiap musyawarah yang dilakukan, tetapi juga teraplikasi melalui pemberian peran kepada aktor-aktor yang secara adat sebenarnya adalah “urang asing” dalam kelompoknya. Pemberian posisi-posisi tertentu ini, secara jelas dapat kita lihat ketika diadakan musyawarah yang melibatkan para mamak rumah (atau penghulu), yaitu posisi yang akan “menilai dan mengadili” apabila musyawarah tersebut dianggap tidak sesuai dengan aturan yang berlalu. Di nagari dengan adat salingka nagari Bodi Caniago, posisi-posisi ini ditempati oleh jamba kalimo (penilai menurut adat) dan angku kadi (penilai menurut syarak), sementara di nagari yang menggunakan adat salingka nagari Koto Piliang, posisi sebagai “penilai menurut adat dan syarak” ditempati oleh para mamak rumah (atau penghulu) undangan dan anak kamanakan. Kalau para mamak rumah (atau penghulu) lebih menjalankan fungsinya sebagai penilai secara formal yaitu dalam aktifitas musyawarah tersebut, maka para anak kamanakan menjalankan fungsinya sebagai penilai secara informal yaitu dalam bentuk gunjingan di masyarakat. Struktur triadik seperti ini juga terlihat dalam peran yang diberikan kepada aktor yang terlibat dan dilibatkan dalam menyusun kesepakatan perkawinan itu sendiri. Di nagari Koto Piliang, hal ini sangat jelas sekali terlihat dalam pelibatan sumando sebagai salah satu aktor yang dilibatkan dalam membentuk dan menyusun kesepakatan perkawinan tersebut. Disini, terbentuknya sebuah kesepakatan perkawinan antar dua kelompok keluarga, bisa terjadi karena adalah kolaborasi antaramamak rumah (atau penghulu) dengan sumando. Dalam konteks ini mamak rumah (atau penghulu) menjalan strategi-strategi politik di level atas (level pimpinan), sementara para sumando melakukan strategi-strategi politik di level bawah (level anak kamanakan). Artinya, para mamak rumah (ataupenghulu), sesuai dengan tugas, fungsi dan stratanya, lebih difungsikan untuk melakukan strategi-strategi politiknya dalam prosesi manikek janjang, manapik bondua (mengesahkan kesepakatan) maka sumando akan melakukan strategi-strategi politiknya dengan aktifitas marosok (menyusun rencana-rencana bentuk kesepakatan yang akan diambil oleh para pimpinan). Strategi yang dilakukan oleh para mamak rumah (atau penghulu)) dan para sumando ini akan dipertemukan dengan cara saling memberi informasi secara vertikal sesuai dengan adat yang dipakai yang manitiak dari ateh. Artinya mamak rumah (atau penghulu)) akan “memerintahkan” kepada sumando untuk melakukan strategi-strategi politik dalam bentuk marosok, dan sumando pun akan “melaporkan” hasil aktifitas marosok yang dia lakukan tersebut untuk kemudian minta ditindaki lanjuti olehmamak rumah (atau penghulu)) dalam bentuk kesepakatan manikek janjang manapiak bondua. Gambaran ini, sekaligus menunjukkan bahwa sebenarnya ada dualisme dalam adat Minangkabau dalam memposisikan sumando itu sendiri. Secara ideal, sumando adalah urang asing di tengah-tengah kerabat istrinya, dimana keberadaannya sering diakui sebagai abu diateh tungku (abu diatas tungku), sehingga para sumando ini cenderung tidak diberi peran dalam berbagai aktifitas yang dilakukan oleh kelompok kerabat istrinya. Akan tetapi dengan memberikan peran dalam aktifitasmarosok tersebut, kesan sebagai urang asing justru tidak terlihat lagi, apalagi perannya justru dipadukan dengan peran mamak rumah (atau penghulu)) di level atas, sebagai orang yang akan menindak lanjuti hasil kerja sumando yang bermain di level bawah. Disamping itu, seorang mamak rumah (atau penghulu)) juga memiliki para pendamping (manti, malin, dan dubalang) yang seharusnya menggantikan peran yang dilakukan oleh seorang mamak rumah (atau penghulu)), akan tetapi justru para pendamping ini tidak difungsikan untuk memainkan peran tersebut. Sesuai dengan adatnya manitiak dari ateh, maka “perintah” yang diberikan oleh seorang mamak rumah (ataupenghulu), seharusnya hanya bisa diaplikasikan kepada anak-kamanakan nya saja, dan tidak kepadaanak-kamanakan dari mamak rumah (atau penghulu) orang lain. Sesuatu yang dianggap tidak pantas apabila seseorang memberikan “perintah” kepada orang lain yang justru bukan anggota dari kelompoknya (urang asing). Sebaliknya urang asing juga bisa mengelak dan menolak “perintah” tersebut apabila yang memerintah dirinya justru bukan orang yang dianggap sebagai pemimpinnya. Secara adat, seorang mamak rumah (atau penghulu), dengan kekuasaan yang dimilikinya bisa saja memerintahkan anak-kamanakan nya untuk memainkan peran dalam aktifitas marosok tersebut, yang secara komunal justru “lebih aman” untuk tidak membuat malu nama kelompoknya. Hal ini bisa saja muncul sebagai akibat peran yang dimainkan oleh urang sumando (sebagai urang asing) ketika melakukan perannya dalam marosok tersebut. D. KESIMPULAN : ALAM NAN TAKAMBANG JADIKAN GURU Keunikan masyarakat Minangkabau sudah banyak digambarkan oleh banyak peneliti sebelumnya. Paparan dalam tulisan ini hanyalah sebuah cara pandang lain dalam melihat “keunikan” Minangkabau tersebut. Hal ini didasari karena pembicaraan tentang dualisme dalam masyarakat sering dihindari dengan pemikiran untuk menghindari efek negatif dari pembicaraan tersebut (mudah-mudahan saya saya duga). Namun apapun pandangan awam tentang konsepsi dualisme tersebut, secara empiris kasus Minangkabau menunjukkan bahwa dualisme tersebut hidup dan terlihat secara jelas. Filosofi yang tercermin dalam pepatah mambusek dari bumi, yang dipersepsikan sebagai sikap demokratis Minangkabau selama ini, secara jelas berseberangan dengan pepatah manitiak dari ateh yang jelas-jelas adalah sikap aristokratis yang ditunjukkan oleh masyarakat Minangkabau tersebut. Contoh-contoh lain oposisi binari seperti ini banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Walaupun demikian, dalam oposisi yang ada, keharmonisan juga diciptakan, dan dinamika seperti ini jelas-jelas dituangkan dalam nilai-nilai budaya masyarakatnya (sakali aia gadang, sakali tapian barubah). Oposisi dalam keharmonisan ini juga diakui banyak penulis sebagai dasar yang telah diciptakan sejak awal oleh dua nenek moyang masyarakat Minangkabau yaitu Perpatih nan Sabatang dan Datuk Katemenggungan. Oleh sebab itu menurut saya adalah hal yang tidak benar kalau banyak fenomena yang sedang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, lebih dilihat sebagai sebuah proses perubahan sosial. Karena perubahan sosial (termasuk budaya) lebih mengarah pada penempatan fenomena sebagai sebuah entitas yang tetap, padahal dalam banyak kasus justru aspek-aspek perubahan tersebut cenderung berulang. Disinilah konsepsi Levi-Strauss tentang “transformasi” mendapatkan tempatnya. Untuk itu yang diperlukan adalah analisis lebih jauh mengapa dan bagaimana hal ini hidup dan mempengaruhi kehidupan masyarakat pemiliknya. Mestika Zed (1992) misalnya pernah mengungkapkan bahwa mengkaji Minangkabau tidak bisa hanya melalui pendekatan budaya saja yang hanya menggambarkan fenomena empiris dalam masyarakat saja, tetapi perlu dilakukan dengan pendekatan struktural dimana banyak elemen perlu mendapat porsi dalam penjelasan tersebut. Saya menangkap kajian struktural yang dimaksudkan tidak sekedar hanya menjelaskan elemen-elemen dalam struktur tersebut saja, tetapi yang peling penting adalah menjelaskan pola hubungan (Levi-Strauss lebih suka menggunakan kata “relasi”) untuk menjelaskan fenomena masyarakat Minangkabau tersebut. E. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. 1966, “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau” dalamIndonesia No.2 (Okotober) p.1-24. Abdullah, Taufik. 1972, “Modernization in Minangkabau Word: West Sumatera in the Early Decades of the Twentieth Century” in Cultural and Politics in Indonesia (edited by Claire Holt & Benedict R.O.G. Anderson & James Siegel). Ithaca, NY: Cornell University. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press. Amir M.S. 2001. Adat Minangkabau. Pola dan Tujuan Hidup Orang Minangkabau. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya. Arifin, Zainal. 2004. Dari Dualisme Menuju Keesaan: Budaya Politik Masyarakat Minangkabau. Penelitian Hibah Bersaing, Dirjend Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI. 2005. Arifin, Zainal. 2004. Kompromi Sebagai Dasar Kehidupan Orang Minangkabau. Disampaikan dalm Seminar Internasional “Kebudayaan Minangkabau dan Potensi Etnik dalam Paradigma Multikultural” yang diadakan oleh Fakultas Sastra Universitas Andalas di Hotel Inna Muara tanggal 23-24 Agustus 2004. Arifin, Zainal. & Rani Emilia & Afrizal. 2001. Public Service di Indonesia: Kasus di Sumatera Barat. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan dan Kebijakan (PPKK) Universitas Gadjah Mada. Azwar, Welhendri. 2001. Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik. Yogyakarta: Galang Press. Bachtiar, Harsja. 1967, “Negeri Taram: A Minangkabau Village Community” in Village in Indonesia(edited Koentjaraningrat). Ithaca, NY: Cornell University Press. Benda-Backmann, Keebet von. 2000, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Peradilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau. Jakarta: Grasindo. (original published 1984, “The Broken Stairway to Concensus: Vilage Justice and State Courts in Minangkabau”). Biezeveld, Renske. 2001. “Nagari, Negara dan Tanah Komunal di Sumatera Barat” dalam Franz von Benda-Backman & Keebet von Benda-Backmann & Juliette Koning (eds). Sumberdaya Alam dan Jaminan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Chadwick, R.J. 1991, “Matrilineal and Inheritance & Migration in a Minangkabau Community” inIndonesia No.51 (April) p.47-81. Davis, Carol. 1995. “Hierarchy or Complementarity? Gendered Expressions of Minangkabau Adat” inIndonesia Circle No.67. p.273-292. Datuk Batuah, Ahmad. & A. Datuk Majoindo. 1956. Tambo Minangkabau dan Adatnya. Djakarta: Balai Pustaka. Djamaris, Edward. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dobbin, Christine. 1974, “Economic Change in Minangkabau as Factor in the Rise of the Padri Movement (1784-1830)” in Indonesia No.23 (April). p.1-37. Ekeh, Peter P. 1974. Social Exchange Theory. London: Heinemann. Esten, Mursal. 1993. Minangkabau, Tradisi dan Perubahannya. Padang: Angkasa Raya Hakimy, Idrus Dt. Rajo Penghulu. 1991. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau.Bandung: Remaja Rosdakarya. Hamka. 1951. Kenang-Kenangan Hidup. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. Josselin de Jong, P.E. de. 1960. Mnangkabau and Negeri Sembilan. Socio-Political Structure in Indonesia. Jakarta: Bhratara. Kahin, Audrey. 2005. Dari Pemberontakan Menuju Integrasi. Sejarah Perjuangan Masyarakat Minangkabau 1930-1998. Jakarta. Yayasan Obor. Kato, Tsuyoshi. 1982, Matriliny and Migration. Evolving Minangkabau in Indonesia. Ithaca-London: Cornell University Press. Levi-Strauss, Claude. 1963. Structural Anthropology I. New York: Basic Books. Maarif, Ahmad Syafei. 1996. “Gagasan Demokrasi dalam Perspektif Budaya Minangkabau” dalam: Mohammad Najib, dkk (eds), Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Yogyakarta. LKPSM-NU DIY. Naim, Mochtar (ed). 1968. Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Padang: Center for Minangkabau Studies. Naim, Mochtar. 1973, Merantau, Minangkabau Voluntary Migration. Ph.D dissertation, University of Singapore. Nasroen. 1957. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Penerbit CV Pasaman. Needham, Rodney. 1980. “Principles and Variations in the Structure of Sumbanese Society” dalam (James J. Fox) “The Flow of Life: Essays on Eastern Indonesia” Cambridge : Harvard University Press. Oki, Akira. 1977, Social Change in the West Sumatran Village (1908-1945). Ph.D. dissertation, Australian National University. Radjab, Muhammad. 1969. Sistem Kekerabatan Minangkabau. Padang: Centre for Minangkabau Studies Press. Saanin, H.H.B. Datuk Tan Pariaman. 1989. “Kepribadian Orang Minangkabau dan Psikopatologinya” dalam M.A.W.Brouwer (eds). Kepribadian dan Perubahannya. Jakarta: Penerbit Gramedia. Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sairin, Sjafri. 1996. “Demokrasi dalam Perspektif Kebudayaan Minangkabau” dalam: Mohammad Najib, dkk (eds), Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Yogyakarta. LKPSM-NU DIY. Tanner, Nancy. 1969 “Disputing and Dispute Settlement Among minangkabau of Indonesia” inIndonesia No.8 (April). p.21-68. Wahid, KH. Abdurrahman. 1996. “Demokrasi Perspektif Agama dan Negara” dalam Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara (Editor, Mohammad Najib, dkk). Yogyakatya: LKPSM-NU DIY. Zed, Mestika et.al. (eds). 1992. Perubahan Sosial di Minangkabau. Padang : Pusat Studi Perubahan Sosial-Budaya.
[1] Staf pengajar di jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas Padang. [2] Dualisme dalam pandangan awam, sering dilihat sebagai hal yang tidak konsisten, tidak punya sikap yang tegas, seperti baling-baling dan lain-lain yang berkonotasi negatif. [3] Disini dibedakan antara pandangan kaum Struktural (dan) fungsional dengan pandangan kaum Strukturalisme, bahkan banyak ahli juga cendrung membedakan antara strukturalisme bergaya Belanda, strukturalisme bergaya Amerika dan strukturalisme bergaya Perancis (lihat Ahimsa-Putra, 2001). Strukturalisme dalam tulisan ini lebih ditekankan ada pandangan strukturalisme Perancis yang dikembangkan oleh Levi-Strauss. [4] Konsep ambiguitas Minangkabau ini juga pernah dikemukakan oleh Sjafri Sairin (2000) yang melihat masyarakat Minangkabau sekarang sedang memasuki tahapan ambiguitas atau transisional. Namun agak sedikit berbeda dengan Sjafri Sairin, pandangan saya tentang ambiguitas disini lebih sebagai sebuah struktur, bukan sebagai fenomena empirik. Sumber : http://arifinzed.wordpress.com/2010/06/02/membaca-ulang-kajian-minangkabau/#comment-6 Filed under: Adat Banagari, adat minang Tagged: adat minang, bukittinggi, ciloteh minangkabau, minangkabau, padang Suka
Bahkan Umar Yunus (1964) mensinyalir bahwa sebahagian besar nama-nama suku dan kaum di masyarakat Minangkabau terinspirasi dari alam. Tulisan ini juga terinspirasi dari begitu kuatnya ajaran alam nan takambang pada masyarakat Minangkabau tersebut, sebagai pijakan dasar yang memotivasi saya untuk lebih menggali lebih dalam adat yang dikembangkan dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau tersebut. Lebih jauh lagi, motivasi ini diharapkan bisa memancing para akademisi untuk dapat menjadikan masyarakat Minangkabau — yang telah begitu banyak dijadikan sebagai lahan kajian — sebagai pijakan untuk menggali lebih jauh dasar-dasar keilmuan baru. Keilmuan yang saya maksudkan disini tidak saja sekedar upaya menjadikan Minangkabau sebagai lahan mengasah kajian-kajian terbaru, tetapi menurut saya sangat memungkinkan bisa menjadi lahan untuk melakukan modifikasi dan penemuan teori serta metodologi baru. Walaupun cita-cita ini terlalu ambisius — bahkan mungkin terlalu “kurang ajar” untuk orang seukuran saya — namun bukan berarti hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Walaupun ini mungkin masih terlalu dini untuk disampaikan, namun sebagaimana yang saya tuliskan dalam judul diatas, bahwa ini hanyalah sebuah wacana dari saya yang mudah-mudahan bisa menjadi bahan diskusi lebih jauh lagi bagi para akademisi (dan ilmuwan) lain yang menjadikan Minangkabau sebagai salah satu lahan kajian mereka. Oleh sebab itu sekali lagi saya mohon maaf atas kelancangan tulisan saya ini, namun bukan berarti saya tidak memiliki dasar untuk mengutarakannya. Dari beberapa fenomena yang terlihat di masyarakat Minangkabau sendiri, dan dari segelintir literatur yang baru sempat saya baca, sedikit banyak telah menggelitik saya untuk mengeluarkan apa yang terpikir oleh saya di saat ini tentang hal tersebut. Salah satu potensi yang menurut saya cukup kuat untuk menjadikan Minangkabau sebagai landasan penemuan cara pandang dan metodologi baru di ranah ilmu sosial dan budaya adalah dasar masyarakatnya yang dualisme (Saanin, 1989), “aturannya yang dipakai berubah-ubah” (Benda-Backmann, 2001), “aturan yang dipakai tidak jelas” (Biezeveld, 2001), “sulit diterka” (Abdurrahman Wahin, 1996), “ambigu” (Sjafri Sairin, 2002), “secara politik ada persaingan antar kelompok” (Maarif, 1996, Azwar, 2001), dispute (Tanner, 1971), dual organization (Levi-Strauss, 1963), “organisasi sosial yang mendua” (Josselin de Jong, 1960). Permasalahannya, sebutan diatas cenderung dikonotasikan negatif[2], sehingga sering menjadi kendala ketika diangkat kepermukaan sebagai bahan diskusi lebih lanjut. Saya cenderung melihat fenomena-fenomena tersebut (dualisme, ambigu, dispute), justru sebagai sesuatu yang potensi untuk digali lebih lanjut. Asumsi dasarnya, apabila memang masyarakat Minangkabau ditunjukkan demikian (dualisme), maka pertanyaannya lalu mengapa justru hal tersebut tidak menimbulkan kondisi-kondisi yang disharmoni. Dalam beberapa literatur, ditunjukkan misalnya bagaimana masyarakat Minangkabau justru memiliki kemampuan dalam mensintesiskan adanya dualisme tersebut. Bahkan Nasroen (1957) secara tegas mengatakan kondisi masyarakat Minangkabau ini sebagai kondisi “kesatuan dalam keragaman”. Josselin de Jong (1960) menyebutnya sebagai “permusuhan dalam persahabatan” (hostile in friendship), sedangkan Saanin (1989) menyebutnya sebagai “dualisme menuju keesaan”. Dari beberapa literatur yang baru sempat saya baca, berbagai topik dengan berbagai teori dan cara pandang yang dilakukan oleh para peneliti — luar maupun dari ilmuwan Minangkabau sendiri — terungkap begitu kaya dan menariknya Minangkabau sebagai lahan kajian. Namun sampai sekarang — sepengetahuan saya — kajian tersebut belum sempat melahirkan sebuah cara pandang, teori dan metodologi baru. Mudah-mudahan hal ini bukan karena Minangkabau tidak menarik untuk menjadi landasan penemuan-penemuan dasar-dasar keilmuan baru, tetapi lebih disebabkan karena belum banyak para ilmuwan sekelas Clifford Geertz yang mampu menjadi Jawa sebagai dasar pengembangan teori hermeneutik-nya. Oleh sebab itu, saya tidak menganggap tulisan ini sebagai sebuah temuan atau pemikiran baru, tetapi lebih menempatkannya sebagai hasil perenungan sayasetelah beberapa tahun terakhir ini mencoba menggeluti beberapa tulisan tentang Minangkabau dan mengaitkannya dengan berbagai fenomena yang katanya “tidak jelas” tersebut. Mudah-mudahan justru tidak menambah kekusutan baru. B. BUDAYA MINANGKABAU SEBAGAI LAHAN KAJIAN Budaya Minangkabau sudah lama menimbulkan keingin tahuan banyak orang khususnya peneliti-peneliti dan pengamat di berbagai disiplin ilmu. Tetapi yang paling menarik perhatian justru dalam kajian dan aspek sosial-budaya dan politik. Informasi awal tentang budaya dan masyarakat Minangkabau ke masyarakat luar sebenarnya telah dilakukan oleh orang Minangkabau itu sendiri, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Bahkan apabila informasi tersebut merujuk ke bentuk lisan, diperkirakan telah lama dilakukan oleh orang Minangkabau melalui para peranrau-perantaunya. Joustra yang datang ke Minangkabau di awal abad 20 misalnya menerima informasi awal tentang sistem sosial masyarakat Minangkabau justru dari perantau Minangkabau yang menetap Malaysia (dikutip dari Joselin de Jong, 1960). Upaya untuk selalu menyebarkan informasi ini (secara lisan), dalam masyarakat Minangkabau adalah hal biasa yang ditandai dengan adanya tradisi ba-kaba(menceritakan tentang sebuah kisah), bahkan tambo akhirnya bisa dituliskan karena adanya kebiasaan mensosialisasikan sebuah kisah, sejarah asal usul, aturan dan legenda-legenda kebesaran nenek moyang melalui tradisi lisan ini. 1. Periode Awal Informasi awal tentang masyarakat Minangkabau dalam bentuk tulisan orang Barat dari perspektif “ilmiah”, baru dimulai sejak pertengahan abad 19 dan awal abad 20. Ini misalnya bisa dilihat dalam tulisan Pustorius (1869) yang mencoba menggambarkan situasi perang Padri yang terjadi di Minangkabau pada waktu itu. Gambaran seperti inilah yang kemudian ikut mempengaruhi C.Snouch Hurgronje (1906) ketika akan mengulas masyarakat Aceh. Tulisan-tulisan berbentuk etnografi baru mulai bermunculan dengan pesat sejak awal abad 20. Ini dimulai dengan munculnya tulisan Willinck (1909) yang menggambarkan tentang sistem pemerintahan nagari di Minangkabau, kemudian tulisan Ronkel (1916), Stap (1917), Westenenk (1918), Joustra (1920), Schrieke (1920), Leyds (1926), Guyt (1934), Schafer (1938), Korn (1941) yang kesemua tulisan-tulisan ini mulai terfokus pada gambaran etnografi umum tentang sistem sosial-budaya seperti masyarakat Minangkabau yang matrilineal, sistem organisasi sosial berbentuk kaum, suku, sistem kerapatan adat, dan sistem pemerintahan nagari. Namun yang menarik, pada priode sebelum kemerdekaan ini, tercatat sudah mulai muncul tulisan-tiulisan dari orang Minangkabau sendiri yang menggunakan bahasa melayu dengan menggunakan huruf latin (bukan arab Melayu). Beberapa tulisan ini bahkan diterbitkan sendiri melalui peneribit yang dikelola orang Minangkabu atau orang Belanda yang ada di Sumatera Barat (seperti di Bukittinggi dan Payakumbuh). Tulisan-tulisan ini memang masih terfokus pada upaya memperkenalkan aturan adat yang bekembang dan dikembangkan di masyarakat Minangkabau, dengan memaparkannya dalam bentuk tambo. Beberapa tulisan diantaranya ditulis oleh Datoe’ Sanggono Diradjo (1919) dengan judul “Kitab Tjoerai Paparan Adat Lembaga alam Minangkabau”, dan dari penulis yang sama tentang “Moestika Adat Alam Minangkabau” (1920). Bahkan sudah coba dibuat sebuah kamus bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu Riau yang ditulis oleh M Thaib Sutan Pamuncak (1935). 2. Priode Tahun 1950-an Periode tahun 1950-an, ditandai dengan mulai gencarnya para peneliti dari Belanda yang dimotori para peneliti dari Leiden Universitat untuk menggali lebih jauh tentang adat istiadat yang berkembang di Indonesia. Minangkabau (Indonesia bagian Barat umumnya) sebagai salah satu daerah kajian banyak dimotori oleh P.E. Josselin de Jong, sementara di daerah Indonesia Barat dimotori oleh F.A.E. van Wouden. Karya-karya awal sebelum kemerdekaan tentang Minangkabau oleh peneliti-peneliti Belanda, sangat besar sekali mempengaruhi para peneliti berikutnya (aliran Leiden Belanda) untuk menggali lebih dalam tentang masyarakat di Indonesia. Hal ini kemudian melahirkan karya besar P.E. de Josselin de Jong (1960) tentang sistem sosial-budaya masyarakat Minangkabau dan Negeri Sembilan. Karya-karya ilmiah para peneliti di tahun 1950-an ini kemudian sering menjadi gambaran dan acuan awal bagi banyak peneliti untuk memahami Minangkabau lebih jauh. Bahkan khusus untuk karya Josselin de Jong, kemudian lebih dianggap sebagai “masterplane” oleh banyak peneliti ketika ingin mengkaji masyarakat Minangkabau. Para penulis Barat ini lebih banyak tertarik untuk menggambarkan tentang sistem sosial-budaya secara umum tentang masyarakat Minangkabau, atau lebih untuk melengkapi secara lebih dalam tentang gambaran yang sudah dilakukan sebelumnya. Oleh sebab itu, gambaran tentang sistem adat atau tradisi-tradisi berkaitan dengan kehidupan sehari-hari akhirnya lebih banyak menjadi tema umum dalam etnografi mereka. Pada tahun-tahun 50-an ini juga, beberapa penulis Minangkabau juga mulai bermunculan, yang sebelumnya juga sudah mulai banyak bermunculan dengan karya-karya sastranya. Adapun tema sentral dalam karya penulis-penulis dari Minangkabau ini lebih pada sistem adat dan kaitannya dengan sistem agama (Islam). Pertarungan antara kelompok Islam dan kelompok adat mulai terlihat kembali dalam berbagai ulasan penulis Minangkabau ini, yang menurut Taufik Abdullah (1966) lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik Indonesia pada waktu itu. Oleh sebab itu, maka penulis-penulis dengan gelar adat yang lengkap mulai banyak memunculkan tulisan tentang sistem adat yang “seharusnya” berlaku, menulis ulang tambo yang mereka ketahui, disamping sistem matrilineal itu sendiri. Beberapa penulis dari latar adat di tahun-tahun 1950-an ini, misalnya Datuak Batuah Sango & Datuk Majoindo (1954); Datuk Maruhum Batuah & D.H. Bagindo Tanameh (1954) yang keduanya mencoba menuliskan kembali tentang Tambo alam Minangkabau. Sementara kelompok lain yang lebih lebih “moderat” dan mencoba mengulas posisi Islam dalam tatanan sistem adat Minangkabau juga banyak bermunculan. Beberapa diantaranya misalnya karya M. Radjab (1954), Darwis Datuak M. Lelo & Marzuki (1954) yang kebetulan keduanya mencoba mengulas Perang Padri dan posisi Islam (Tuanku Imam Bonjol) dalam masyarakat Minangkabau. Kemudian tulisan lainnya seperti tulisan-tulisan Hamka (1946; 1951) tentang posisi Adat Minangkabau dalam tatanan negara; Nasroen (1957) tentang Dasar Falsafah adat Minang; dan Hazairin (1956) tentang Penyesuaian hukum islam dan hukum adat. 3. Periode Tahun 1960-an Barulah pada tahun-tahun 1960-an dan 1970-an, karya-karya penelitian yang beragam tema dan beragam universitas mulai semakin gencar mengulas tentang masyarakat Minangkabau. Pada tahun 1960-an ini, kelompok yang paling gencar melakukan dan mengkaji Minangkabau adalah dari kelompok Cornel University, yang pada awalnya telah didahului oleh Anthony H. John (1958) yang mengulas sebuah kaba yaitu Kaba Rantjak Dilabuah. Setelah John menganalisis sistem sosial-budaya masyarakat Minangkabau yang secara implisit tercermin dalam Kaba Rantjak Dilabuah, maka karya-karya penulis Cornell berikutnyan bermunculan. Dua penulis Minangkabau yang kebetulan sekolah di Cornell University yaitu Zahara Daulay (1960) dan Taufik Abdullah (1966), mencoba menggambarkan Minangkabau dalam kacamata pemilik budayanya. Kalau Zauhara Daulay mencoba menjelaskan sistem sosial budaya Minangkabau secara umum, maka Taufik Abdullah mulai mencoba mengkhusus pada persekutuan Adat dan Islam, yang kemudian dilanjutkan dengan disertasinya tentang Gerakan Kaum Muda. Peneliti Minangkabau lainnya yang juga gencar menginformasikan tentang sistem sosial-budaya Minangkabau melalui tulisan-tulisannya diantaranya Delian Noer (1963), Umar Junus (1964), Harsja Bachtiar (1967) dan Mochtar Naim (1968). Sementara di Padang sendiri melalui Fakultas Ilmu Kemasyarakatan (sekarang Fakultas Hukum) juga mulai gencar menggali budaya Minangkabau khususnya dalam perspektif hukum yang dimotori oleh Herman Sihombing (seperti 1968). Sementara para penulis Barat misalnya muncul nama J.V. Maretin (1961) yang mempertanyakan tentang keberlanjutan sistem matrineal di Minangkabau (dissappearance of matriclan survivals in Minangkabau family), Fischer (1964) yang mencoba menjelaskan dan menggali kembali struktur kekerabatan Minangkabau (The minangkabau kinship structure), serta tulisan Nancy Tanner (1969) yang kebetulan juga dari Cornell University, yang mengulas tentang pola perselisihan di Minangkabau dan proses penyelesaiannya (Minangkabau disputes). Beberapa penulis (khususnya peneliti dari Barat) yang mulai gencar menginformasikan akan sifat “ambiguitas” kehidupan masyarakat Minangkabau ini, disatu sisi juga menggelitik beberapa penulis lain (khususnya penulis-penulis Minangkabau sendiri) untuk kembali menjelaskan tata aturan, adat dan sistem matrilineal, serta pola hubungan Adat dan islam di masyarakat Minangkabau ini. Dalam konteks ini berbagai penulis (khususnya penulis dari Minangkabau) mencoba membuktikan bahwa fenomena yang berkembang di masyarakat Minangkabau pada prinsipnya adalah fenomena yang muncul sebagai konsekuensi dinamis yang dimiliki masyarakatnya, jadi bukanlah sesuatu yang saling bertentangan. Pola hubungan antara Adat dan Islam yang oleh banyak peneliti dilihat sebagai suatu hubungan yang “aneh” karena disatu sisi mengandung prinsip matrilineal (adat) dan disisi lain mengandung prinsip patrilineal (Islam), menurut para penulis dari Minangkabau ini bukanlah sebuah fenoemna bertentangan tetapi lebih sebagai fenomena saling berdampingan. Artinya, kehadiran Islam dalam kehidupan adat di masyarakat Minangkabau sebenarnya “melengkapi” dan “menyempurnakan” Adat itu sendiri (Nasroen, 1957; Taufik Abdullah, 1966; Hamka, 1958). Posisi dan pola hubungan antara Adat dan islam yang sebenarnya sudah pernah coba dijelaskan oleh penulis-penulis dari Minangkabau coba dikupas kembali oleh beberapa penulis Minangkabau. Beberapa diantaranya masih berkutat dengan informasi tentang aturan adat dan tambo, seperti dapat ditemukan dalam tulisan Datuk Sidi Bandaro (1965) yang mengupas tentang Seluk beluk adat minangkabau; Bahar Datuk Nagari Basa (1966) yang menjelaskan tentang Falsafah Pakaian Penghulu dan Silsilah adat dalam Tambo alam Minang; Mansur Datuk Nagari Basa (1968) mengupas Hukum Waris dan Tanah da peradilan agama; Datuk Rajo Penghulu (1978) menjelaskan tentang Pokok-pokok pengetahuan adat alam minangkabau; Datuk Rajo Penghulu (1978) tentang Pegangan penghulu, bundo kanduang dan pidato adat; atau Chairul Anwar (1967) tentang Hukum Adat di Indonesia: Meninjau Minangkabau. Namun beberapa penulis lainnya yang kebetulan juga banyak berasal dari Minangkabau juga mencoba menjelaskan tentang seluk-beluk dan sejarah masyarakat Minangkabau itu sendiri. Tulisan seperti ini misalnya bisa dilihat dalam tulisan Hamka (1963) yang mencoa menjelaskan tentang keberadaan peranan adat minang dalam menghadapi revolusi; Kemal (1964) tentang sekitar sistem pemerintahan nagari dan perkembangannya; M Radjab (1969) tentang Sistem kekerabatan di minangkabau; M.D. Mansoer (1970) tentang Sejarah Minangkabau; Rasid Manggis Datuk Rajo Panghulu (1971) tentang sejarah ringkas Minangkabau dan adatnya; Nazaruddin (1971) tentang Masalah Hibah dalam hukum adat minangkabau; Nuzhadi (1971) tentang latar belakang sejarah terujudnya adat basandi syarak di minang; Amilijoes Sa’sanoer (1973) tentang Peradilan adat di sumatera barat; serta Mohammad Hasbi (1971) tentang Perkembangan dan peran LKAM dalam masyarakat dan pemerintahan. Termasuk didalam ini juga tulisan Lynn L. Thomas (1977) yang menggali lebih jauh tentang sistem kekerabatan yang berkembang dalam sistem matrilineal Minangkabau pedesaan. 4. Periode Tahun 1970-an sampai sekarang Pada tahun 1970-an , pembicaraan tentang “pertentangan” dalam berbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau kelihatannya mulai ditinggalkan. Banyak peneliti mulai lebih tertarik tentang berbagai isu yang selama ini tidak pernah dikupas dan dibicarakan oleh para peneliti dari Minangkabau termasuk peneliti dari Barat sendiri. Isu-isu tentang tentang perubahan sosial-ekonomi dan pola migrasi di masyarakat Minangkabau terlihat mulai menonjol. Tulisan Christine Dobbin (1974) misalnya mencoba mengupas tentang gerakan kaum padri (Islam) tidak saja disebabkan sebagai upaya memurnikan ajaran Islam di Minangkabau, tetapi sebenarnya juga bermotif sebagai pemberontakan akibat tekanan ekonomi terhadap masyarakat Minangkabau secara umum yang cenderung tidak disetujui oleh kelompok islam ini. Kupasan tentang perubahan sosial yang lebih dilihat dalam konteks ekonomi seperti ini juga muncul dalam tulisan Joel S. Kahn (1974) yang mengupas tentang posisi ekonomi pedesaan dalam konteks global yang ditandai dengan proses migrasi masyarakatnya (migrasi sebagai gerakan ekonomi). Tulisan yang juga mengarah pada perubahan sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan ini juga terlihat dalam tulisan Akira Oki (1977) yang mengargumentasikan bahwa proses perubahan sosial di masyarakat Minangkabau lebih sebagai proses yang dikondisikan dan diintervensi oleh Belanda untuk kepentingan pemerintahan penjajah (akibat krisis ekonomi akhir tahun 1929), dan tekanan penjajah inilah yang menurut Akira Oki sebagai salah faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam tatanan masyarakat, termasuk dalam tatanan pemerintahan nagari, yang sebenarnya sangat otonom. Kajian-kajian lainnya yang cukup menonjol adalah kajian tentang migrasi (merantau) sebagai salah satu fenomena sosial yang dianggap sudah berkembang sejak lama dalam masyarakat Minangkabau. Tulisan Mochtar Naim (1974) dan tulisan Tsuyoshi Kato (1978) adalah diantaranya yang cukup menonjol dalam pembicaraan tentang proses migrasi ini. Kedua penulis ini sama-sama berpijak dari asumsi bahwa tradisi merantau di Minangkabau memiliki saling kait-mengait dengan sistem matrilineal masyarakatnya, namun dalam melihat pola kaitannya tersebut, kedua penulis ini cenderung agak berbeda. Dalam pandangan Mochtar Naim, tradisi merantau lebih disebabkan oleh tekanan-tekanan adat yang dialami oleh laki-laki Minangkabau, yang dianggap tidak memiliki “kekuasaan” sehingga harus diraih dengan cara merantau. Sementara Tsuyohi Kato lebih melihat proses merantau sebagai sebuah proses yang cenderung akan semakin menguatkan keberadaan matrilineal Minangkabau itu sendiri. Dalam konteks ini, Kato mencoba menjawab asumsi-asumsi bahwa matrilineal Minangakabu akan mengalami perubahan seiring dengan proses merantau itu sendiri. Untuk itu disini menurut Kato membuktikan bahwa adat, tata aturan dan sosial yang berkambang dalam tradisi matrilineal Minangkabau justru disosialisasikan kembali oleh orang Minangkabau di daerah perantau. Sedikit agak berbeda dengan penulis lainnya, walau masih dalam konteks perubahan sosial dan merantau adalah tulisan Hans-Dieter Evers (1975) yang membicarakan tentang perubahan sosial di masyarakat Minangkabau perkotaan. Menurut Hans-Dieter Evers disini, bahwa ada kecenderungan kota (khususnya kota Padang) ada kecenderungan lebih sebagai batu pijakan untuk pergi merantau ke kota-kota besar lain di Sumatera atau di pulau Jawa. Artinya kota-kota di Sumatera Barat cenderung lebih sebagai daerah transit bagi banyak perantau Minangkabau untuk menuju daerah tujuan sebenarnya (kota-kota Besar di Indonesia). Kajian lain yang juga cukup menonjol adalah keinginan beberapa para ahli sejarah untuk mengungkap sejarah perjuangan masyarakat Minangkabau, serta kajian tentang hukum dengan segala perubahannya. Kajian tentang sejarah perjuangan dan pergolakan di masyarakat Minangkabau, misalnya dapat ditemukan dalam tulisan Elizabeth Graves (1971) yang mengupas tentang strategi perjuangan masyarakat Minangkabau yang diasumsikannya sama dengan dengan strategi perjuangan masa lalu dengan istilah “victorious buffalo”. Strategi ini adalah sebuah strategi yang lebih mengandalkan “co-operation” (kerjasama) daripada dengan mengandalkan kekuatan fisik dan senjata, dan menurut Elezabeth Graves strategi ini ternyata sangat berhasil dan bermanfaat bagi masyarakat Minangkabau dalam mengatasi berbagai masalah masa penjajahan Belanda. Kajian tentang sejarah masyarakat Minangkabau lainnya misalnya yang ditulis oleh Audry Kahin (1979) yang berjudul “Struggle for Independence in West Sumatera”. Kajian yang menarik yang juga mulai melihat pada aspek yang agak berbeda dengan penulis-penulis sebelumnya adalah kajian dari hukum, misalnya yang ditulis oleh Franz von Benda-Backmann (1979) yang membicarakan tentang tanah ulayat dan aspek sosialnya yang dilihat dari sisi pluralisme hukum dan perannya sebagai jaminan sosial bagi semua anggota kerabat dan masyarakat secara umum. Kajian hukum seperti ini juga kemudian dilakukan oleh istri beliau yaitu Keebet von Benda-Backmaan (2001) yang mencoba membahas sistem musyawarah yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau yang dianggapnya sangat adaptif dan mampu menyesuaikan dengan aturan hukum yang berkembang dan dikembangkan. Dari judul tulisannya “the broken stairway to concensus” sudah tersirat bahwa menurut Keebet von Benda-Backmann bahwa cara musyawarah adat yang berkembang di masyarakat Minangkabau sudah mulai “hancur” yang diasumsikannya sebagai akibat intervensi negara. Namun kesimpulan ini cenderung kontradiktif dengan penjelasannya sendiri yang melihatnya dari kacamata pluralisme hukum bahwa hancurnya cara musyawarah ini sebenarnya sudah mulai muncul ketika Islam berkembang dan menjadi bagian dalam masyarakat Minangkabau. Era selanjutnya yaitu periode tahun 1980-an dan 1990-an, kajian-kajian tentang gender terlihat mulai menonjol. Di akhir tahun 1970-an, tulisan tentang fenomena sosial-budaya masyarakat Minangkabau dalam persfektif gender (khususnya kajian tentang wanita) sebenarnya sudah muncul lewat tulisan Prindiville (1979) yang mencoba membahas “makanan dan dapur” yang dilihatnya sebagai simbol-simbol bagi komuniasi wanita dalam kehidupan di rumah tangga dan di masyarakat. Dengan kata lain menurut Prindiville, makanan dan aktifitas di dapur bisa menjadi sarana bagi wanita untuk menunjukkan dan menguatkan eksistensinya dalam masyarakat. Kajian lainnya yang juga masih masih terkait dengan wanita walau sedikit agak berbada adalah tulisan F.K. Errington (1984) yang mencoba membahasa tentang peran wanita dalam mensosialisasikan tata krama dan tata aturan dalam masyarakat Minangkabau. Dalam perkembangan juga muncul tulisan-tulisan lain seperti OP.R. Sanday (1990) yang berjudul “Androcentric and Matrifocal Gender in Minangkabau”, Carol Davis (1994) dengan judul “Gender Relation and Networks in Minangkabau Village”, Joke van Reenen (1996) “Central Pillars of The House, Sistem, Wife and Mother”. C. MEMBACA ULANG MINANGKABAU : ANTARA KAJIAN KULTURAL DAN STRUKTURAL Berangkat dari gambaran beberapa literatur tentang Minangkabau yang ada diatas, kita bisa melihat bahwa ada kecenderungan peneliti-peneliti yang tertarik dalam kajian mengkaji tentang Minangkabau lebih dikarena beberapa hal diantara; (1) karena keunikan masyarakatnya yang dilandasi oleh sistem matrilineal, sehingga dianggap sangat berbeda dengan latar belakang banyak peneliti (yang cenderung patrilineal, mungkin), (2) Kuatnya ajaran Islam yang melekat dalam masyarakat Minangkabau, yang justru oleh banyak peneliti dianggap “mengejutkan” karena Islam yang cendrung ptrilineal bisa begitu kuat disadur dan dipakai oleh masyarakatnya yang juga sangat kuat nilai matrilinealnya. (3) Berangkat dari aspek Adat (maytrilineal) atau dari aspek Islam (patrilineal) inilah kemudian melahirkan banyak kajian untuk lebih menjelaskan dan justru mempertanyakan tentang asumsi bahwa berbagai fenomena di Minangkabau cenderung menunjukkan pola hubungan yang bertentangan atau meminjam istilah Tanner cenderung menunjukkan fenomena “dispute”. Namun ada kecendrungan, para peneliti di akhir tahun 1990-an atau di awal-awal tahun 2000-an ini kembali dibigungkan dengan fenomena-fenomena yang dispute tersebut. Hal ini misalnya terlihat dari beberapa kajian dan pemikiran yang cenderung mencoba “merekonstruksi” atau “merevitalisasi” budaya Minangkabau, atau dengan kata lain mencoba “menyusun” kembali budaya Minangkabau tersebut setelah mengalami berbagai “perubahan” dan “pembongkaran” disana-sini akibat perkembangan dunia yang juga ikut nendera dunia Minangkabau. Masalahnya aspek-aspek apa yang akan direkontruksi dan direvitalisasi, bukanlah masyarakat Minangkabau justru menghendaki hal tersebut terjadi (sakali aia gadang sakali tapian barubah). Pada periode-periode awal penelitian di Minangkabau (1950-an) yang kebanyakan berasal dari Belanda, sudah coba dijelaskan bagaimana gambaran budaya Minangkabau melalui kajian-kajian tentang adat dan tradisi yang berkembang. Namun justru peneliti seperti Keebet von Benda-Backmann sendiri (2001) dan juga muridnya seperti Renske Biezeveld (2001) yang juga berasal dari Belanda, justru kembali mempertanyakan mengapa aturan-aturan yang berkembang di masyarakat Minangkabau justru cenderung menunjukkan sifat “tidak teratur”, “tidak memiliki acuan yang jelas” atau dengan kata lain “dispute”. Saya mengasumsikan, kajian-kajian terbaru tentang Minangkabau banyak bergerak dari kaca mata kultural yang menempatkan fenomena budaya di Minangkabau sebagai bagian dari proses perubahan sosial. Para peneliti ini sebenarnya menyadari bahwa dalam nilai-nilai budaya Minangkabau aspek perubahan dianggap sebagai hal yang biasa, berangkat dari pepatah adatnya yang mengatakan “sakali air agadang, sakali tapiah barubah” (sekali banjir datang, maka tempat pemandian juga akan berubah). Namun ketika melihat berbagai fenomena yang berkembang menunjukkan arah yang “aneh secara teori” atau “sulit untuk dibaca” dalam kacamata teori perubahan sosial atau dari kacamata teori kontinuitas-diskontinuitas, para peneliti ini menjadi “kelabakan”. Inilah yang menurut saya yang menyebabkan munculnya aktifitas para peneliti-peneliti tentang Minangkabau untuk “merekonstruksi” atau “merevitalisasi” budaya Minangkabau tersebut. Terpakunya cara pandang peneliti yang cenderung selalu melihat berbagai fenomena melalui kacamata kultural seperti ini, sebenarnya belum cukup untuk menjelaskan fenomena Minangkabau yang melegalkan perubahan tersebut. Oleh sebab itu mungkin perlu melihatnya dengan cara pandang lain, yaitu cara pandang struktural[3]. Ini diasumsikan karena berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat Minangkabau sebenarnya telah terstruktur, sehingga pergerakan-pergerakan berbagai fenomena yang dianggap “tidak beraturan” tersebut sebenarnya hanyalah gerakan-gerakan “transformasi” belaka, atau dalam pepatah Minangkabau, hanya “batuka baruak jo cigak” (berubah beruk jadi kera). Artinya berbagai fenomana yang berkembang di masyarakat Minangkabau pada intinya hanya berubah di level empirik belaka (bertukar kulit), tetapi sebenarnya di level yang lebih abstrak yaitu level pemikiran — atau meminjam istilah Levi-Strauss dengan istilah “savage though” — sebenarnya bersifat tetap. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka menurut saya, pandangan tentang dispute berkenaan dengan berbagai fenomena di masyarakat Minangkabau lebih disebabkan karena struktur masyarakatnya memiliki struktur yang dispute atau dengan kata lain, struktur masyarakat Minangkabau sebenarnya adalah “struktur dualisme” atau memiliki “struktur ambiguitas”[4], tetapi masalahnya — sekali lagi — konsep dualisme atau ambiguitas ini sering dipandang oleh sebagai konsep yang cenderung “negatif”. Dualisme yang dimaksudkan dalam tulisan ini lebih sebagai sebuah kondisi dimana dalam sebuah masyarakat ditemukan adanya dua aspek yang cenderung berbeda bahkan saling bertentangan, namun berada dalam sebuah arena yang sama. Nasroen (1950), melihatnya melalui perandaian seperti sebuah gulai, dimana bahan bakunya terdiri dari berbagai sumber, berbagai rasa dan berbagai bentuk. Namun sebagai sebuah kesatuan (gulai) maka dia bercampur menjadi satu dan saling mendukung satu sama lain, bahkan terkadang tidak diketahui lagi ujud dari bahan-bahan tersebut. Dualisme masyarakat Minangkabau seperti beberapa diantaranya dicontohkan oleh Saanin (1960) seperti adanya dua lareh (Koto Piliang dan Bodi Caniago), dua pola politik (manitiak dari ateh – mambusek dari bumi), dua pola pengasuhan (anak dipangku – kamanakan dibimbing), posisi yang mendua bagi seorang suami (abu diateh tungku – manatiang minyak panuah), dan lain-lain. Ulasan bahwa masyarakat Minangkabau memiliki struktur yang dualisme seperti ini sebenarnya sudah pernah disinggung oleh Josselin de Jong (1960); Tanner, 1969; Dobbin, 1977, termasuk beberapa penulis Minangkabau sendiri (lihat misalnya Abdullah, 1966; Saanin, 1989; Maarif, 1996). Secara struktural, sebenarnya sifat dualisme dalam masyarakat Minangkabau ini sudah diindikasikan oleh berbagai penulis yang berbasis perspektif strukturalisme. Needham (1980) misalnya mengatakan bahwa dalam masyarakat yang menjalankan prinsip matrilineal sebagai landasan kehidupan sosialnya, maka sifat dualisme (dual organization) seperti ini akan selalu ditemui. Oleh kaum strukturalisme seperti Needham, hal ini diasumsikan sebagai akibat pentingnya posisi wanita dalam pertukaran sosial, khususnya dalam hubungan perkawinan. Bahkan Ekeh (1974) secara lebih luas menggambarkan hal ini sebagai akibat pertukaran sosial (social exchange) dalam berbagai aktifitas dalam kehidupan sosialnya. Oleh sebab itu, saya setuju dengan apa yang pernah dilontarkan oleh Mestika Zed (1992; 2004) yang melihat bahwa cara pandang kultural yang dipakai selama ini ternyata belum cukup untuk menjelaskan fenomena-fenomena di masyarakat Minangkabau, untuk itu mungkin perlu melihat fenomena-fenomena ini dengan menggunakan cara pandang lain seperti cara pandang struktural. Akan tetapi cara pandang struktural ini bukanlah sebagai satu-satunya cara pandang dalam membaca fenomena-fenomena tersebut, tetapi beberapa alasan yang belandasi penggunaan cara pandang ini antara lain : (1) Salah satu konsep penting dalam strukturalisme adalah “oposisi binari”, dan aplikasi konsep ini menurut saya cukup terlihat dalam berbagai pengklasifikasian fenomena di Minangkabau baik dalam bentuk struktur diametrik, konsentrik maupun triadik (konsep yang dikutip dari Levi-Strauss, 1963). (2) Ada kecenderungan fenomena-fenomena yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, apabila dipandang dari kacamata “perubahan sosial” tidak merubah secara frontal nilai-nilai dasar (nilai-nilai adat) yang berkembang dan dikembang dalam masyarakatnya. Masyarakat Minangkabau mengenal ada dua jenis adat yaitu adat yang babuhua mati dan adat yang babuhua sentak (adat yang terikat mati sehingga sulit untuk dilepas, serta adat yang ikatannya mudah dilepas). Perubahan sosial di Minangkabau, menurut saya cenderung masih terjadi dalam tataran adat babuhua sentak dan tidak pada tataran adat babuhua mati. Ini terbaca dari gambaran masyarakatnya, dimana sebesar apapun perubahan sosial yang terjadi, tetapi nilai-nilai adat cenderung tetap kuat bertahan. Kalau kita setuju untuk mengatakan bahwa masyarakat Minangkabau memiliki struktur dualisme, maka kita bisa membayangkan begitu besarnya potensi konflik internal yang bisa terjadi didalam masyarakat Minangkabau ini. Besarnya potensi konflik ini membuat Taufik Abdullah (1966) menyebut kondisi masyarakat Minangkabau ini sebagai “medan pertempuran” (the battle field) yang setiap saat bisa meletus dan menjadi arena perang yang sebenarnya. Namun dalam kenyataannya, kondisi dualisme ini justru tidak membuat masyarakat Minangkabau menjadi disharmoni atau menjadikan masyarakatnya selalu mengalami konflik berkepanjangan. Dengan kata lain, walaupun masyarakatnya terkondisi dalam situasi dualisme yang bisa saja menciptakan kondisi disharmoni, namun dibalik kondisi tersebut juga terselip adalah nilai-nilai yang mampu menciptakan keharmonisan. Artinya, di dalam masyarakat Minangkabau itu sendiri, sebenarnya ada nilai-nilai yang mampu mensintesiskan akan adanya dualisme tersebut, sehingga wajar kalau Josselin de Jong (1960) menyebut kondisi masyarakat Minangkabau ini sebagai kondisi masyarakat yang “walaupun bermusuhan namun tetap dalam persahabatan” (hostile in frienship). Sementara Nasroen (1950) lebih suka menyebut kondisi ini dengan istilah “kesatuan dalam keragaman” dan Saanin (1960) menyebutnya dengan istilah “dari dualisme menuju keesaan”. Dalam kajian strukturalisme, maka kodisi masyarakat Minangkabau seperti ini dapat disebut sebagai bentuk masyarakat dengan struktur triadik (levi-Strauss, 1966), yaitu sebuah kondisi dimana masyarakatnya terbelah menjadi 3 kelompok bagian. Dalam pandangan kaum strukturalisme, struktur triadik ini akan terdiri dari dua komponen yang selalu beroposisi (binary opposition) dan satu komponen lainnya adalah posisi antara. Kalau dua komponen yang beroposisi ini sifatnya riil, maka posisi antara terkadang keberadaannya bersifat tersembunyi (hidden reality). Salah satu gambaran tentang struktur Minangkabau yang memiliki ciri struktur triadik ini, sangat jelas terlihat misalnya dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat Minangkabau. Struktur tridik ini misalnya tergambar dalam sistem lareh dimana dua komponen, yaitu lareh Koto Piliang dan lareh Bodi Caniago cenderung memiliki ciri yang berbeda (beroposisi). Namun dibalik dualisme sistem lareh tersebut juga terselip sebuah lareh yang keberadaannya cenderung tersembunyi, yaitu lareh Nan Panjang, dimana keberadaannya dianggap “Koto Piliang indak, Bodi Caniago antah”. Mengikuti tambo yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, maka lareh Nan Panjang adalah sebutan bagi kelompok masyarakat (kaum dan suku) yang dibangun oleh Sri Maharajo Dirajo sebelumnya di daerah Pariangan dan Padang Panjang, atau jauh sebelum Datuk Katamanggungan dan Datuk Prapatiah Nan Sabatang menyusun dan mengembangkan sistem lareh Koto Piliang dan Bodi Caniago itu sendiri. Namun penamaan dan pengelompokan daerah Pariangan dan Padang Panjang sebagai pemilik dan pengguna sistem lareh Nan Panjang, barulah diberikan setelah sistem larehtersebut dipertegas oleh duo datuak tersebut. Artinya jauh sebelum sistem lareh Koto Piliang dan Bodi Caniago dipertegas, sebenarnya telah ada sistem sebelumnya yang dibangun dan diberlakukan oleh Sri Maharajo Diarajo (orang tua duo datuak ini) bersama dengan para pengikut-pengikutnya. Namun setelah munculnya dua larehlareh Nan Panjang, lebih memposisikan diri sebagai kelompok penetralisir dari dua lareh yang ada tersebut. yang satu sama lain relatif berbeda, maka keberadaan Dari hasil penelitian, menunjukkan bahwa struktur triadik sistem lareh ini, secara struktural ternyata bertransformasi dalam berbagai aktifitas kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam aktifitas perkawinan yang berkembang dan dikembangkan dalam masyarakat Minangkabau, baik di nagari yang menggunakan adat salingka nagari Koto Piliang maupun di nagari yang menggunakan adat salingka nagari Bodi Caniago. Dalam sistem perkawinan, keberadaan kelompok penetralisir yang ditunjukkan oleh lareh Nan Panjang ini, tidak saja ditunjukkan melalui posisi-posisi aktor tertentu dalam setiap musyawarah yang dilakukan, tetapi juga teraplikasi melalui pemberian peran kepada aktor-aktor yang secara adat sebenarnya adalah “urang asing” dalam kelompoknya. Pemberian posisi-posisi tertentu ini, secara jelas dapat kita lihat ketika diadakan musyawarah yang melibatkan para mamak rumah (atau penghulu), yaitu posisi yang akan “menilai dan mengadili” apabila musyawarah tersebut dianggap tidak sesuai dengan aturan yang berlalu. Di nagari dengan adat salingka nagari Bodi Caniago, posisi-posisi ini ditempati oleh jamba kalimo (penilai menurut adat) dan angku kadi (penilai menurut syarak), sementara di nagari yang menggunakan adat salingka nagari Koto Piliang, posisi sebagai “penilai menurut adat dan syarak” ditempati oleh para mamak rumah (atau penghulu) undangan dan anak kamanakan. Kalau para mamak rumah (atau penghulu) lebih menjalankan fungsinya sebagai penilai secara formal yaitu dalam aktifitas musyawarah tersebut, maka para anak kamanakan menjalankan fungsinya sebagai penilai secara informal yaitu dalam bentuk gunjingan di masyarakat. Struktur triadik seperti ini juga terlihat dalam peran yang diberikan kepada aktor yang terlibat dan dilibatkan dalam menyusun kesepakatan perkawinan itu sendiri. Di nagari Koto Piliang, hal ini sangat jelas sekali terlihat dalam pelibatan sumando sebagai salah satu aktor yang dilibatkan dalam membentuk dan menyusun kesepakatan perkawinan tersebut. Disini, terbentuknya sebuah kesepakatan perkawinan antar dua kelompok keluarga, bisa terjadi karena adalah kolaborasi antaramamak rumah (atau penghulu) dengan sumando. Dalam konteks ini mamak rumah (atau penghulu) menjalan strategi-strategi politik di level atas (level pimpinan), sementara para sumando melakukan strategi-strategi politik di level bawah (level anak kamanakan). Artinya, para mamak rumah (ataupenghulu), sesuai dengan tugas, fungsi dan stratanya, lebih difungsikan untuk melakukan strategi-strategi politiknya dalam prosesi manikek janjang, manapik bondua (mengesahkan kesepakatan) maka sumando akan melakukan strategi-strategi politiknya dengan aktifitas marosok (menyusun rencana-rencana bentuk kesepakatan yang akan diambil oleh para pimpinan). Strategi yang dilakukan oleh para mamak rumah (atau penghulu)) dan para sumando ini akan dipertemukan dengan cara saling memberi informasi secara vertikal sesuai dengan adat yang dipakai yang manitiak dari ateh. Artinya mamak rumah (atau penghulu)) akan “memerintahkan” kepada sumando untuk melakukan strategi-strategi politik dalam bentuk marosok, dan sumando pun akan “melaporkan” hasil aktifitas marosok yang dia lakukan tersebut untuk kemudian minta ditindaki lanjuti olehmamak rumah (atau penghulu)) dalam bentuk kesepakatan manikek janjang manapiak bondua. Gambaran ini, sekaligus menunjukkan bahwa sebenarnya ada dualisme dalam adat Minangkabau dalam memposisikan sumando itu sendiri. Secara ideal, sumando adalah urang asing di tengah-tengah kerabat istrinya, dimana keberadaannya sering diakui sebagai abu diateh tungku (abu diatas tungku), sehingga para sumando ini cenderung tidak diberi peran dalam berbagai aktifitas yang dilakukan oleh kelompok kerabat istrinya. Akan tetapi dengan memberikan peran dalam aktifitasmarosok tersebut, kesan sebagai urang asing justru tidak terlihat lagi, apalagi perannya justru dipadukan dengan peran mamak rumah (atau penghulu)) di level atas, sebagai orang yang akan menindak lanjuti hasil kerja sumando yang bermain di level bawah. Disamping itu, seorang mamak rumah (atau penghulu)) juga memiliki para pendamping (manti, malin, dan dubalang) yang seharusnya menggantikan peran yang dilakukan oleh seorang mamak rumah (atau penghulu)), akan tetapi justru para pendamping ini tidak difungsikan untuk memainkan peran tersebut. Sesuai dengan adatnya manitiak dari ateh, maka “perintah” yang diberikan oleh seorang mamak rumah (ataupenghulu), seharusnya hanya bisa diaplikasikan kepada anak-kamanakan nya saja, dan tidak kepadaanak-kamanakan dari mamak rumah (atau penghulu) orang lain. Sesuatu yang dianggap tidak pantas apabila seseorang memberikan “perintah” kepada orang lain yang justru bukan anggota dari kelompoknya (urang asing). Sebaliknya urang asing juga bisa mengelak dan menolak “perintah” tersebut apabila yang memerintah dirinya justru bukan orang yang dianggap sebagai pemimpinnya. Secara adat, seorang mamak rumah (atau penghulu), dengan kekuasaan yang dimilikinya bisa saja memerintahkan anak-kamanakan nya untuk memainkan peran dalam aktifitas marosok tersebut, yang secara komunal justru “lebih aman” untuk tidak membuat malu nama kelompoknya. Hal ini bisa saja muncul sebagai akibat peran yang dimainkan oleh urang sumando (sebagai urang asing) ketika melakukan perannya dalam marosok tersebut. D. KESIMPULAN : ALAM NAN TAKAMBANG JADIKAN GURU Keunikan masyarakat Minangkabau sudah banyak digambarkan oleh banyak peneliti sebelumnya. Paparan dalam tulisan ini hanyalah sebuah cara pandang lain dalam melihat “keunikan” Minangkabau tersebut. Hal ini didasari karena pembicaraan tentang dualisme dalam masyarakat sering dihindari dengan pemikiran untuk menghindari efek negatif dari pembicaraan tersebut (mudah-mudahan saya saya duga). Namun apapun pandangan awam tentang konsepsi dualisme tersebut, secara empiris kasus Minangkabau menunjukkan bahwa dualisme tersebut hidup dan terlihat secara jelas. Filosofi yang tercermin dalam pepatah mambusek dari bumi, yang dipersepsikan sebagai sikap demokratis Minangkabau selama ini, secara jelas berseberangan dengan pepatah manitiak dari ateh yang jelas-jelas adalah sikap aristokratis yang ditunjukkan oleh masyarakat Minangkabau tersebut. Contoh-contoh lain oposisi binari seperti ini banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Walaupun demikian, dalam oposisi yang ada, keharmonisan juga diciptakan, dan dinamika seperti ini jelas-jelas dituangkan dalam nilai-nilai budaya masyarakatnya (sakali aia gadang, sakali tapian barubah). Oposisi dalam keharmonisan ini juga diakui banyak penulis sebagai dasar yang telah diciptakan sejak awal oleh dua nenek moyang masyarakat Minangkabau yaitu Perpatih nan Sabatang dan Datuk Katemenggungan. Oleh sebab itu menurut saya adalah hal yang tidak benar kalau banyak fenomena yang sedang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, lebih dilihat sebagai sebuah proses perubahan sosial. Karena perubahan sosial (termasuk budaya) lebih mengarah pada penempatan fenomena sebagai sebuah entitas yang tetap, padahal dalam banyak kasus justru aspek-aspek perubahan tersebut cenderung berulang. Disinilah konsepsi Levi-Strauss tentang “transformasi” mendapatkan tempatnya. Untuk itu yang diperlukan adalah analisis lebih jauh mengapa dan bagaimana hal ini hidup dan mempengaruhi kehidupan masyarakat pemiliknya. Mestika Zed (1992) misalnya pernah mengungkapkan bahwa mengkaji Minangkabau tidak bisa hanya melalui pendekatan budaya saja yang hanya menggambarkan fenomena empiris dalam masyarakat saja, tetapi perlu dilakukan dengan pendekatan struktural dimana banyak elemen perlu mendapat porsi dalam penjelasan tersebut. Saya menangkap kajian struktural yang dimaksudkan tidak sekedar hanya menjelaskan elemen-elemen dalam struktur tersebut saja, tetapi yang peling penting adalah menjelaskan pola hubungan (Levi-Strauss lebih suka menggunakan kata “relasi”) untuk menjelaskan fenomena masyarakat Minangkabau tersebut. E. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. 1966, “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau” dalamIndonesia No.2 (Okotober) p.1-24. Abdullah, Taufik. 1972, “Modernization in Minangkabau Word: West Sumatera in the Early Decades of the Twentieth Century” in Cultural and Politics in Indonesia (edited by Claire Holt & Benedict R.O.G. Anderson & James Siegel). Ithaca, NY: Cornell University. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press. Amir M.S. 2001. Adat Minangkabau. Pola dan Tujuan Hidup Orang Minangkabau. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya. Arifin, Zainal. 2004. Dari Dualisme Menuju Keesaan: Budaya Politik Masyarakat Minangkabau. Penelitian Hibah Bersaing, Dirjend Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI. 2005. Arifin, Zainal. 2004. Kompromi Sebagai Dasar Kehidupan Orang Minangkabau. Disampaikan dalm Seminar Internasional “Kebudayaan Minangkabau dan Potensi Etnik dalam Paradigma Multikultural” yang diadakan oleh Fakultas Sastra Universitas Andalas di Hotel Inna Muara tanggal 23-24 Agustus 2004. Arifin, Zainal. & Rani Emilia & Afrizal. 2001. Public Service di Indonesia: Kasus di Sumatera Barat. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan dan Kebijakan (PPKK) Universitas Gadjah Mada. Azwar, Welhendri. 2001. Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik. Yogyakarta: Galang Press. Bachtiar, Harsja. 1967, “Negeri Taram: A Minangkabau Village Community” in Village in Indonesia(edited Koentjaraningrat). Ithaca, NY: Cornell University Press. Benda-Backmann, Keebet von. 2000, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Peradilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau. Jakarta: Grasindo. (original published 1984, “The Broken Stairway to Concensus: Vilage Justice and State Courts in Minangkabau”). Biezeveld, Renske. 2001. “Nagari, Negara dan Tanah Komunal di Sumatera Barat” dalam Franz von Benda-Backman & Keebet von Benda-Backmann & Juliette Koning (eds). Sumberdaya Alam dan Jaminan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Chadwick, R.J. 1991, “Matrilineal and Inheritance & Migration in a Minangkabau Community” inIndonesia No.51 (April) p.47-81. Davis, Carol. 1995. “Hierarchy or Complementarity? Gendered Expressions of Minangkabau Adat” inIndonesia Circle No.67. p.273-292. Datuk Batuah, Ahmad. & A. Datuk Majoindo. 1956. Tambo Minangkabau dan Adatnya. Djakarta: Balai Pustaka. Djamaris, Edward. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dobbin, Christine. 1974, “Economic Change in Minangkabau as Factor in the Rise of the Padri Movement (1784-1830)” in Indonesia No.23 (April). p.1-37. Ekeh, Peter P. 1974. Social Exchange Theory. London: Heinemann. Esten, Mursal. 1993. Minangkabau, Tradisi dan Perubahannya. Padang: Angkasa Raya Hakimy, Idrus Dt. Rajo Penghulu. 1991. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau.Bandung: Remaja Rosdakarya. Hamka. 1951. Kenang-Kenangan Hidup. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. Josselin de Jong, P.E. de. 1960. Mnangkabau and Negeri Sembilan. Socio-Political Structure in Indonesia. Jakarta: Bhratara. Kahin, Audrey. 2005. Dari Pemberontakan Menuju Integrasi. Sejarah Perjuangan Masyarakat Minangkabau 1930-1998. Jakarta. Yayasan Obor. Kato, Tsuyoshi. 1982, Matriliny and Migration. Evolving Minangkabau in Indonesia. Ithaca-London: Cornell University Press. Levi-Strauss, Claude. 1963. Structural Anthropology I. New York: Basic Books. Maarif, Ahmad Syafei. 1996. “Gagasan Demokrasi dalam Perspektif Budaya Minangkabau” dalam: Mohammad Najib, dkk (eds), Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Yogyakarta. LKPSM-NU DIY. Naim, Mochtar (ed). 1968. Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Padang: Center for Minangkabau Studies. Naim, Mochtar. 1973, Merantau, Minangkabau Voluntary Migration. Ph.D dissertation, University of Singapore. Nasroen. 1957. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Penerbit CV Pasaman. Needham, Rodney. 1980. “Principles and Variations in the Structure of Sumbanese Society” dalam (James J. Fox) “The Flow of Life: Essays on Eastern Indonesia” Cambridge : Harvard University Press. Oki, Akira. 1977, Social Change in the West Sumatran Village (1908-1945). Ph.D. dissertation, Australian National University. Radjab, Muhammad. 1969. Sistem Kekerabatan Minangkabau. Padang: Centre for Minangkabau Studies Press. Saanin, H.H.B. Datuk Tan Pariaman. 1989. “Kepribadian Orang Minangkabau dan Psikopatologinya” dalam M.A.W.Brouwer (eds). Kepribadian dan Perubahannya. Jakarta: Penerbit Gramedia. Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sairin, Sjafri. 1996. “Demokrasi dalam Perspektif Kebudayaan Minangkabau” dalam: Mohammad Najib, dkk (eds), Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Yogyakarta. LKPSM-NU DIY. Tanner, Nancy. 1969 “Disputing and Dispute Settlement Among minangkabau of Indonesia” inIndonesia No.8 (April). p.21-68. Wahid, KH. Abdurrahman. 1996. “Demokrasi Perspektif Agama dan Negara” dalam Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara (Editor, Mohammad Najib, dkk). Yogyakatya: LKPSM-NU DIY. Zed, Mestika et.al. (eds). 1992. Perubahan Sosial di Minangkabau. Padang : Pusat Studi Perubahan Sosial-Budaya.
[1] Staf pengajar di jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas Padang. [2] Dualisme dalam pandangan awam, sering dilihat sebagai hal yang tidak konsisten, tidak punya sikap yang tegas, seperti baling-baling dan lain-lain yang berkonotasi negatif. [3] Disini dibedakan antara pandangan kaum Struktural (dan) fungsional dengan pandangan kaum Strukturalisme, bahkan banyak ahli juga cendrung membedakan antara strukturalisme bergaya Belanda, strukturalisme bergaya Amerika dan strukturalisme bergaya Perancis (lihat Ahimsa-Putra, 2001). Strukturalisme dalam tulisan ini lebih ditekankan ada pandangan strukturalisme Perancis yang dikembangkan oleh Levi-Strauss. [4] Konsep ambiguitas Minangkabau ini juga pernah dikemukakan oleh Sjafri Sairin (2000) yang melihat masyarakat Minangkabau sekarang sedang memasuki tahapan ambiguitas atau transisional. Namun agak sedikit berbeda dengan Sjafri Sairin, pandangan saya tentang ambiguitas disini lebih sebagai sebuah struktur, bukan sebagai fenomena empirik. Sumber : http://arifinzed.wordpress.com/2010/06/02/membaca-ulang-kajian-minangkabau/#comment-6 Filed under: Adat Banagari, adat minang Tagged: adat minang, bukittinggi, ciloteh minangkabau, minangkabau, padang Suka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar