17 Agustus 1945 : Indonesia merdeka.
19 Agustus 1945 :
- Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sidang kedua memutuskan pembagian wilayah Republik Indonesia dalam delapan provinsi: Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan.
- Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak tercantum “wilayah negara Republik Indonesia”. Namun, para founding fathers menetapkan wilayah negara Indonesia adalah bekas Hindia Belanda. Penetapan ini mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939: Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Pulau-pulau di wilayah ini dipisahkan laut di sekelilingnya. Setiap pulau punya laut di sekelilingnya sejauh 3 mil dari garis pantai.
10 November 1946 : Perundingan Indonesia-Belanda digelar di Linggarjati, di kaki Gunung Ciremai, Cirebon. Belanda hanya mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura.
21 Juli 1947 : Agresi Militer Belanda I. Belanda menduduki sebagian wilayah Republik Indonesia dan membentuk Garis van Mook.
8 Desember 1947 : Perundingan di atas kapal Angkatan Laut Amerika Serikat, USSRenville, mendesak Belanda mengembalikan daerah-daerah yang didudukinya ke Indonesia, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Riau, Sulawesi Selatan, Minahasa, Manado, Bali, Lombok, Timor, Sangihe Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, dan Papua.
19 Desember 1948 : Belanda tak mengakui Perjanjian Renville dan menggelar Agresi Militer II di Yogyakarta.
*******
Menjelang subuh di Maguwo. Tak dinyana, pasukan khusus Belanda mendadak menduduki lapangan udara yang kini bernama Adisucipto itu. Dan, beberapa jam kemudian, ibu kota Republik, Yogya, diduduki Belanda. Akibatnya, tragis buat republik yang masih seumur jagung: Pimpinan Negara ditawan. Itu terjadi Minggu 19 Desember 1948 suatu masa yang belum terlalu jauh. Penawanan Soekarno-Hatta itulah yang menyebabkan kevakuman pimpinan negara dan pemerintahan.
Soekarno-Hatta memilih ditawan Belanda?
Peristiwa 19 Desember itu menjadi bahan olok-olok di kalangan tentara untuk mencemooh pemimpin-pemimpin politik sebagai orang-orang yang tidak ikut berjuang menegakkan kemerdekaan.
Menurut sebuah catatan, dalam ceramah di muka para sejarawan di UI pada 8 Februari 1973, Bung Hatta mengatakan ada dua kemungkinan kala itu. Pertama: Presiden dan Wakil Presiden mengungsi ke luar kota dengan dikawal satu batalyon tentara. Kedua: ditawan oleh Belanda di Yogya, tapi masih dekat dengan Komite Tiga Negara (KTN). Pilihan terakhir inilah yang dipilih, karena memberi peluang adanya perundingan.
Hal senada pun diungkapkan Soekarno lewat biografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Dalam suatu dialog dengan Jenderal Sudirman, Soekarno berkata:
“Dirman engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukanlah tempat pelarian bagi saya. Saya harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita dan memimpin rakyat kita semua.”
Sebuah perbedaan sikap, memang. Tapi, “Konflik yang nyata sipil-militer sebenarnya tidak ada,” kata T.B. Simatupang. “Secara psikologis, menyerahnya pimpinan sipil itu menimbulkan perasaan tidak enak di kalangan militer yang waktu itu memelopori peperangan bersenjata di kalangan rakyat,” tambahnya. Tapi diakui, inilah yang kemudian, “memang melandasi sikap tidak percaya kalangan militer terhadap pimpinan sipil pada masa-masa berikutnya,” kata Simatupang.
Kol TB. Simatupang (28 tahun) merenungkan ulang rentetan peristiwa pada hari itu. Perasaan yang memenuhi dirinya kemudian direkam dalam memoir perjuanganLaporan dari Banaran (Jakarta, 1960 & 1978). Tulisannya, menyimpulkan gumpalan perasaan pada malam itu yang memenuhi dirinya:
“Yogyakarta telah jatuh. Presiden, Wakil Presiden dan pemimpin-pemimpin besar kita yang lainnya telah tertawan. Akan tetapi, apakah dengan itu Republik kita telah mati? Ada seorang penulis, kalau saya tidak salah Machiavelli, yang pernah kurang lebih berkata bahwa benteng yang terakhir dari negara adalah dalam hati prajurit-prajuritnya – Apakah Republik kita ini mati atau hidup sekarang memang terutama tergantung dari pertanyaan, apakah dia masih tetap hidup atau tidak dalam hati perwira-perwira, bintara-bintara, dan prajurit-prajurit TNI. Jawaban atas pertanyaan ini akan diberikan oleh perkembangan pada hari-hari dan minggu-minggu yang datang.”
Catatan Jenderal Nasution
Pada 17 Desember 1948 saya pergi ke Jawa Timur untuk memenuhi undangan Divisi I Brawijaya yang hari itu diresmikan sebagai gabungan eks Divisi V, VI, dan VII, di bawah Sungkono. Bagi saya acara ini amat penting karena dalam kondisi pergolakan/rasionalisasi lalu prolog pemberontakan PKI di Madiun, hubungan saya cukup “macet” dengan TNI di Jawa Timur. Inilah kesempatan pertama kali berdialog langsung dengan semua pejabat lapangan setingkat batalyon dan KDM ke atas. Saya pergi hanya dua hari. Rencananya tanggal 19 kembali ke Yogya. Jadi, bukan keliling Jawa.
Dalam resepsi di Kediri, saya jelaskan rencana siasat kita (Perintah Siasat I/1948). Saya tegaskan juga bahwa “Belanda akan menyerang lagi, hanya saatnya kita belum tahu”. Kalau saya tahu bahwa Belanda akan menyerang tanggal 19 Desember, saya pasti tidak pergi. Tanggal 19 Desember pagi, saya dilapori pengumuman radio Belanda tentang penyerbuan Yogya. Saya bersama rombongan langsung ke Yogya dengan kereta api khusus. Kami belum mengetahui nasib Pak Dirman, yang menurut selebaran Belanda juga telah ditawan. Tidak tahu bagaimana Soekarno-Hatta, dan lain-lain.
Ada dua pamflet Belanda yang menyatakan bahwa Republik dan TNI telah tiada, dan daftar yang ditangkap. Itu membuat kami cukup kacau. Setelah agak cukup informasi, kami menganggap perlu segera membuktikan “tetap tegaknya Pemerintah Republik, tetap terasa adanya pimpinan”. Selaku Panglima Komando Jawa, saya keluarkan maklumat berdirinya Pemerintah Militer di seluruh Jawa pada tanggal 22 Desember 1948, beserta Instruksi Bekerja No. I tentang Pemerintahan Militer. Kemudian saya terima surat Menteri Dr. Sukiman atas nama sisa kabinet dan dari Panglima Besar Sudirman yang menyetujui segala tindakan saya itu.
Secara pribadi Pak Dirman dan saya termasuk yang amat kecewa tentang Putusan Panglima Tertinggi untuk tidak ikut bergerilya sebagai telah direncanakan.
Perintah Siasat I/1948 yang saya susun telah diproses sekian lama via Dewan Siasat Militer di bawah pimpinan Presiden sendiri. Bukankah dalam buku Manai Sophiaan dikatakan bahwa atas informasi dari Kepala Intel Markas Komando Jawa, Zulkifli Lubis, Panglima Komando Jawa mengetahui bahwa Yogya akan diserang? Mana kita tahu? Menurut buku-buku Belanda yang saya baca, Belanda sendiri sulit menentukan hari “H” itu. Hari “H” itu digeser-geser. Nah, sepintar-pintarnya kita, tidak mungkin mengetahuinya.
Mengapa Yogya dibiarkan kosong. Tiadanya perlawanan ini kabarnya yang mendorong Soekarno-Hatta memutuskan untuk menyerah. Harus diingat, Perintah Siasat itu dibuat Juni 1948. Tapi tidak jalan. Banyak pasukan yang waktu itu belum taat organisasi. Zaman itu sulit menggerakkan mereka dengan satu komando dari pusat. Saya diangkat sebagai Panglima Komando Jawa baru kira-kira sebulan sebelum 19 Desember 1948. Inilah realita yang ada.
Kekecewaan PDRI
Menyerahnya Soekarno-Hatta itu semula sesuatu yang sulit dipercaya. “Bung Karno itu amat semangat menentang Belanda, dan berulang kali berjanji akan memimpin perang gerilya,” kata Syafruddin. Tak pelak, suka atau tak suka, menyerahnya Soekarno-Hatta inilah pangkal silang-selimpat hubungan sipil-militer di republik ini. Adalah Dewan Siasat Militer, misalnya, yang diketuai Soekarno-Hatta, dan beranggotakan, antara lain, Jenderal Sudirman, A.H. Nasution, dan T.B. Simatupang, sebelumnya telah memutuskan untuk tetap bergerilya. “Bahkan, untuk Soekarno, sudah disiapkan tempatnya di Samigaluh, Yogya,” kata A.H. Nasution.
Hal ikhwal pemilihan tempat Soekarno-Hatta bergerilya ini, rupanya, tergolong sering dibicarakan. Suatu pertanda, betapa tokoh utama dari kalangan sipil itu, waswas benar akan keamanannya di masa gerilya. Salim Said, untuk penulisan disertasinya di Ohio State University, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengatakan bahwa sekitar tujuh bulan sebelum Belanda menggempur Yogya, ada pertemuan yang dihadiri Sri Sultan, Sudirman, Hatta, dan Soekarno. “Dalam pertemuan itu,” kata Sri Sultan, “diputuskan pemerintah akan meninggalkan Kota Yogya jika Belanda melancarkan serangannya. Saya disuruh mencari suatu tempat di kawasan utara Keresidenan Banyumas, tempat pemimpin republik dapat memimpin perang gerilya.” Simatupang pun punya beberapa alternatif bagi Soekarno-Hatta untuk bergerilya. Itu sebabnya, bagi kalangan militer, adalah keputusan “tidak enak” bahwa pada 19 Desember 1948 itu, sidang di Gedung Agung Yogya memutuskan tidak memilih jalan gerilya. “Dalam laporan yang saya terima kemudian,” ujar Nasution keputusan itu diambil karena tidak cukupnya kekuatan pengawalan militer atas keselamatan pimpinan negara. “Ini ya ‘kan nggak enak . . . ,” komentar Nasution
Sadar akan ditawan itulah, agaknya, yang mendorong Soekarno-Hatta memberi mandat pada Syafruddin, Menteri Kemakmuran yang berada di Sumatera Barat, untuk, dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya, membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera.
“Tapi saya tidak pernah menerima mandat itu,” kata Syafruddin. Hal ini juga dibenarkan oleh Mr. S.M. Rasjid, salah seorang bidan PDRI. Mandat itu tak sampai, boleh jadi karena 19 Desember itu Belanda pun mengebom Bukittinggi. Salah satu sasarannya adalah Kantor Telepon dan Telegraf. Ataukah lewat pemancar AURI frekuensi 6.400 kilohertz, yang kala itu sangat berfungsi mengirim dan menerima pesan? “Kami tidak pernah menerima pesan yang berisi mandat bagi Syafruddin untuk membentuk PDRI,” ujar Kolonel (pur.) Kusnadi, salah seorang teknisi dan radiotelegrafis kala itu.
Ringkasnya, PDRI dibentuk terutama inisiatif penuh tokoh-tokoh sipil di Sumatera Barat. Yakni: Mr. Syafruddin Prawiranegara (Ketua PDRI, merangkap Menteri Pertahanan), Mr. T.M. Hasan (Wakil Ketua, merangkap Menteri Dalam Negeri), Mr. S. M. Rasjid (Menteri Keamanan), Mr. Lukman Hakim (Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman), Ir. Mananti Sitompul (Menteri Pekerjaan Umum), dan Ir. Indracahya (Menteri Perhubungan). Inilah kabinet dalam gerilya.
Kabinet mobil, berpindah-pindah markas. “Di Bidar Alam kami bermarkas sementara sekitar empat bulan,” kata Syafruddin. Bidar Alam 195 kilometer ke arah selatan dari Padang. Dengan demikian, PDRI adalah “potret” lain dari kalangan sipil yang memilih bergerilya ketimbang berunding, apalagi ditawan Belanda.
Layak memang dikoreksi bahwa Soekarno-Hatta – betapapun hebat magnet kedua tokoh ini – bukanlah potret yang utuh dari figur kepemimpinan sipil lengkap dengan pilihan sikapnya. Menyerahnya Soekarno-Hatta, yang kemudian ditawan di Bangka, merupakan kekecewaan pertama bagi Mr. Syafruddin Prawiranegara. Kekecewaan yang kedua, ketika kemudian Soekarno memberikan mandat pada Moh. Roem untuk berunding dengan Van Royen di pihak Belanda, tidak dengan pengetahuan dan persetujuan PDRI. Padahal, baik defacto maupun de jure, Soekarno bukanlah presiden. Syafruddin menolak isi perundingan Roem-Royen itu. “Kami ingin agar Belanda mengundurkan diri dari seluruh Indonesia, dan bukan hanya dari Yogya,” ucap Syafruddin. “Kalau PDRI yang berunding, pasti hasilnya lebih bagus. Tapi Bung Karno memang menganggap sepele PDRI.” Sikap serupa juga ditunjukkan oleh Rasjid. “Ya, buat apa berunding, kalau kemerdekaan kita dibatasi. Bung Karno memang memandang sepi kita,” kata Rasjid. “Soekarno mau berunding, sebenarnya hanya supaya dia cepat keluar dari tahanan,” kata Syafruddin.
Dalam hal ini, garis pemikiran Sudirman lebih dekat dengan kalangan sipil di PDRI. Dalam radiogramnya 25 April 1949 pada PDRI, Sudirman mempersoalkan: apakah orang yang dalam tahanan atau pengawasan Belanda berhak berunding padahal sudah ada PDRI. Terlebih, menurut penglihatan Sudirman, “kedudukan kita pada dewasa ini tambah kuat, baik di lapangan militer maupun politik.”
Tapi toh, bukan berarti tak ada masalah kepemimpinan sipil versus militer di masa PDRI ini. Adalah Simatupang, misalnya, menurut Rasjid, yang mengusulkan agar dalam keadaan perang, Panglima Sudirman sebagai pimpinan perjuangan. Sudirman sendiri mengikuti PDRI, tapi dalam kawatnya 23 Maret 1949, bersikap: Panglima Besar mempunyai “suara yang menentukan” dalam keputusan politik yang berkaitan dengan status negara, dan penghentian tembak-menembak. Tapi kawat Sudirman itu dijawab oleh Syafruddin: Militer mesti tunduk kepada keputusan politik PDRI. “Dan tentara ternyata mengakui kepemimpinan politik PDRI,” kata Syafruddin.
Setelah Soekarno-Hatta dibebaskan Belanda, tapi PDRI tak juga berakhir, adakah Syafruddin keberatan menyerahkan mandat kembali? Hatta, misalnya, berangkat ke Aceh untuk menemui pemimpin PDRI. “Hatta mengira kami berada di Aceh, karena diperkirakan PDRI memilih daerah yang bebas dari Belanda,” kata Syafruddin. “Padahal, kami justru berada di tengah-tengah Belanda.” Tak berhasil bertemu, Hatta kemudian mengutus M. Natsir, Halim, dan Leimena ke Sumatera Barat. Utusan itu datang, “Untuk menjelaskan statement Roem-Royen,” kata Natsir.
“Republik dan Yogya sudah kembali, dan itu kemenangan. Kalau tetap mempertahankan PDRI, ‘kan tidak logis,” kata Natsir lebih lanjut. api perundingan utusan Hatta dengan Syafruddin, Lukman, dan Rasjid tak berjalan mulus. “Sampai pukul setengah empat pagi perundingan mengalami deadlock,” kata dr. Halim. “Semuanya tak mau kembali ke Yogya. Gara-gara Roem-Royen? Saya kira begitu,” kata Halim. Tapi, akhirnya, ketika mandi di pancuran, semuanya menjadi beres. “Mungkin mereka sudah berpikir lagi: Rakyat Indonesia ‘kan melihat Soekarno-Hatta yang paling hebat. Itu kenyataan. Kalau rakyat disuruh pilih Soekarno-Hatta atau Syafruddin cs., pasti mereka memilih Soekarno-Hatta,” kata Halim. Memang, menurut Halim, jika sampai Syafruddin tak mau kembali ke Yogya, “akan membikin perpecahan besar . . .” Syafruddin, akhirnya, 13 Juli 1949 kembali ke Yogya. Pemerintah darurat pun usai. Mandat itu toh dikembalikan pada Soekarno-Hatta, dengan rasa kecewa. “Bukan karena kedudukan atau posisi,” kata Syafruddin. “Saya tetap menyesalkan sikap Bung Karno dan Roem, yang mestinya berpihak PDRI. Lebih menyakitkan lagi, perundingan Roem-Royen itu dilakukan di belakang kami,” kata Syafruddin.
Tapi Syafruddin membantah bahwa kekecewaan itulah benih yang menyebabkan ia masuk PRRI beberapa tahun kemudian. “PRRI muncul karena politik Nasakom, dan karena Pusat kurang memperhatikan pembangunan di daerah,” kata Syafruddin. Ia memasuki PRRI, justru dengan keinginan mengembalikan Soekarno pada rel konstitusi: menolak komunis yang anti Pancasila. “PRRI itu ‘kan mendukung Pancasila,” katanya.
*Sumber : Arsip Majalah Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar